KALAU ada ‘kejuaraan terbanyak mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi’ saya mengusulkan nama ini: Mohammad Sholeh. Dulunya ia kuliah ilmu politik. Setelah masuk penjara ia pindah jurusan: hukum. Tetap di universitas yang berafiliasi ke Golkar: Wijaya Kusuma Surabaya.
Sholeh masuk penjara
karena kebanyakan demonstrasi. Di akhir zaman pemerintahan Pak Harto dulu. Ia
memang aktivis PRD (Partai Rakyat Demokratik) Surabaya. Lebih sering demonya
daripada masuk kuliahnya. Boleh dikata ia ikut punya andil menjatuhkan
pemerintahan Orde Baru. Tapi ia tidak pernah bisa ikut menikmati hasil
perjuangannya itu.
Sholeh pernah seperti
tokoh pusat PRD Budiman Sujatmiko: masuk PDI-Perjuangan. Agar bisa menjadi
anggota DPR. Seperti juga Budiman ada indikasi ia bisa dicalonkan lewat partai
itu.
Baca Juga:Pekan Ini Balai Arkeologi Turun ke Situs MatangajiBantu Pembangunan Masjid Lewat Bazar
Tapi Sholeh bukan Budiman.
Ia dicoret justru sebelum jadi caleg. Kenapa? “Karena saya berseberangan dengan
kebijakan partai,” katanya. Dalam proses menjadi calon itu Sholeh mengajukan
gugatan ke MK. Isinya: minta agar calon terpilih adalah yang mendapat suara
terbanyak –bukan berdasarkan nomor urut.
Rupanya Sholeh sudah
mendengar selentingan dari internal partai: namanya tidak akan di urutan atas
–alias akan masuk daftar ‘calon nomor sepatu’. Itu tidak masalah bagi Sholeh.
Asal, penentuan pemenangnya berdasar suara terbanyak. Sebenarnya perjuangan
Sholeh itu berhasil. Gugatannya dimenangkan oleh MK. Hebat sekali. Bersejarah.
Tapi nama Sholeh sudah
telanjur tidak masuk dalam daftar calon di PDI-Perjuangan. Sampai sekarang
penentuan pemenang seperti itu masih berlaku. Itulah hasil perjuangan Sholeh. Hebat.
Dalam sejarah hidupnya ia pernah bikin sejarah.
Atau jangan-jangan Mahfud
MD yang hebat: sebagai hakim konstitusi Mahfud berani bikin putusan itu. “Pak
Mahfud sih bilangnya begitu,” ujar Sholeh, merendah. Atau, Madura-lah yang
hebat –dua-duanya orang Madura. Meski gagal jadi caleg PDI-Perjuangan Sholeh
terus melakukan advokasi untuk ‘wong cilik’. Mulai dari tukang parkir, kaki
lima, sampai beca motor.
Di kalangan itu, di
Surabaya nama Sholeh sangat populer. Itu jadi modal langkah politik berikutnya:
nyaleg lagi. Di Pemilu terakhir yang lalu. Kali ini lewat Partai Gerindra. Sial.