Intelektual
Organik, Jangkar Demokrasi
Secara leksikal, kata intelektual dimaknai sebagai cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan (KBBI). Ada dua hal penting dari makna leksikal tersebut yaitu, pertama, kecerdasan sebagai syarat utama bagi seorang dikatakan sebagai intelektual dan ditandai dengan kepemilikan ilmu pengetahuan yang luas. Itulah kenapa intelektual disebut juga sebagai cendekiawan.
Dan Kedua, tentang makna berakal. Jika
merujuk pada pemikiran Raymond Williams (2015:122), kata intelektual sering
kali diidentikkan dengan orang yang menganut intelektualisme (intellectualism) dan kata
intelektualisme merupakan bentuk lain dari rasionalisme (rationalism). Jadi intelektual adalah seorang rasionalis dan
rasonalitas gagasannya menjadi indikator keintelektualan seseorang.
Karl Mannheim (1954:9)
menyebut intelektual dengan istilah intelligentsia.
Menurutnya, dalam setiap masyarakat, intelligentsia
yang memiliki tugas khusus (special task)
untuk memberikan interpretasi dunia (an
interpretation of the world) untuk masyarakat tersebut. Intelektual
merupakan interpreter (penafsir) realitas politik demokrasi dengan tujuan
memberikan kejelasan kepada publik agar memiliki kesadaran, pengetahuan dan
pemahaman politik yang benar.
Baca Juga:Kinerja Jaksa Agung DikritikTiga Menteri Diserang Hoax Isu Positif Covid-19 Kembali Dibantah
Selanjutnya, Gramsci membagi intelektual menjadi dua, yaitu pertama, intelektual tradisional. Misalnya guru, pendeta (priests), dan adiministrator yang melanjutkan pekerjaan yang sama dari satu generasi ke generasi. Tidak ada perubahan yang berarti yang bisa diwujudkan oleh intelektual tradisional.
Dan kedua, intelektual organik. Jenis intelektual ini berbeda sekali dengan intelektual tradisional. Intelektual ini bekerja secara organik melakukan perubahan sosial melalui perjuangan gagasan. Mereka memainkan peran politik direktif, mereka menjadi kompas politik. Mereka juga konstan dalam berjuang untuk mengubah pikiran masyarakatnya. Tidak seperti intelektual tradisional, intelektual organik terus bergerak (Gramsci, 1992:4; Said, 1996:4).
Dengan pemikiran idealnya, intelektual organik terus aktif mengisi wacana pencerahan publik tanpa terpengaruh oleh pengaruh atau dominasi politik kelas penguasa (ruling class). Dalam Pilkada, intelektual organik konsisten mengedukasi pemilih, tanpa takut dieksklusi oleh jaringan politik berkuasa (the ruling political network). Mereka selalu hadir dalam ruang-ruang publik untuk memberikan pencerahan kepada pemilih tentang hak konstitusionalnya dalam proses politik elektoral. Mereka adalah idealitas intelektual (the ideality of intellectual).