Oleh: Endang Kurnia
MEREBAKNYA virus corona yang melanda sejumlah negara telah menimbulkan banyak persoalan. Dunia pendidikan menjadi salah satu bagian yang terdampak oleh virus korona.
Kebijakan Kemdikbud belajar dari rumah diharapkan mampu memutus mata rantai penyebaran virus tersebut. Meskipun terjadi dinamika, program ini menjadi andalan dalam menjaga keselamatan dan kesehatan siswa, guru, dan orang tua.
Langkah Mendikbud berikutnya adalah membatalkan penyelenggaraan ujian nasional (UN). Upaya ini tidak terlalu mengejutkan banyak pihak. Setelah diangkat menjadi menteri, Nadiem Makarim mengumumkan empat kebijakan strategis. Dari penyelenggaraan USBN, penghapusan UN, penyederhanaan administrasi guru, dan PPDB.
Dalam implementasi UN, muncul silang pendapat antara yang setuju dan yang menolak. UN yang mulai diberlakukan 2005, dianggap tidak berpihak kepada siswa dan guru. Sebagai penentu kelulusan, ia dituduh mengebiri hak guru. Siswa, guru, dan orang tua berusaha dengan segala cara untuk berhasil dalam UN.
Dilihat dari sejarah evaluasi pendidikan, UN adalah regenerasi dari Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Prinsip dan pelaksanaanya nyaris sama. Jika hasil UN dikenal dengan nilai ujian nasional, pada Ebtanas dikenal istilah nilai Ebtanas murni( NEM). Pada dasarnya keduanya memiliki fungsi yang sama. Sebagai bagian dari penentu kelulusan dan alat seleksi untuk memasuki jenjang berikutnya.
Seiring dengan perjalanan waktu, karena desakan berbagai kalangan, fungsi UN pun mengalami perubahan. Sejak 2015 UN tidak menjadi penentu kelulusan. Kelulusan ditentukan sekolah berdasarkan nilai ujian sekolah. Bahkan beberapa tahun terakhir UN tidak menjadi alat seleksi PPDB. Dalam PPDB pemerintah lebih memilih zonasi sebagai alat seleksi. Fungsi UN hanya sebagai alat pemetaan mutu pendidikan. Keinginan pemerintah untuk menghapus UN sesungguhnya tidak terlalu berdampak di kalangan masyarakat. Faktanya, lima tahun terakhir sejak tidak lagi menjadi penentu kelulusan, UN tidak lagi menjadi ”momok” bagi siswa.
Selama ini, baik Ebtanas maupun UN dianggap tidak merepresentasikan kompetensi siswa secara menyeluruh. Keduanya hanya mengukur kompetensi siswa pada empat mata pelajaran. Aspek intelligence quotient (IQ), emotional quotient dan spiritual quotient yang secara holistik diyakini mampu mengantarkan siswa meraih hari depan yang lebih baik tidak diakomodasi oleh Ebtanas ataupun UN.