KUNINGAN – Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di wilayah Jabodetabek terjadi sejak pandemi Covid-19. Termasuk di antaranya adalah warga Kuningan yang bekerja di berbagai perusahaan. Sebagian dari mereka memilih pulang kampung, karena kondisi ekonomi di perkotaan terus menurun. Alih-alih tercipta lapangan kerja baru, status darurat PSBB malah kian meluas hingga pemberlakukan di daerah.
Menyikapi hal ini, Wakil Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Percetakan Penerbitan dan Media Informasi (FSP PPMI SPSI) Dani Iskandar SE menyampaikan keprihatinannya kepada seluruh warga Kuningan yang terdampak PHK belakangan ini.
“Banyak warga Kuningan yang bekerja di berbagai perusahaan maupun pabrik di Jabodetabek terkena imbas PHK. Kami banyak menerima informasi jika mereka akhirnya memilih pulang kampung lantaran sudah tidak ada lagi pekerjaan di perantauan,” tegas Dani Iskandar kepada Radar, kemarin (1/5).
Karena itu, memperingati hari buruh sedunia atau May Day setiap tanggal 1 Mei, Dani kembali mengingatkan pentingnya perhatian pemerintah atas nasib para buruh yang terkena PHK. Misalnya pemerintah daerah melibatkan para buruh yang terkena PHK dalam program padat karya.
“Jumlah pekerja asal Kuningan yang terkena pemutusan hubungan kerja cukup banyak. Mereka ini tersebar di berbagai perusahaan yang ada di wilayah Jabodetabek. Pemerintah daerah juga harus berperan aktif mengatasinya,” tegas dia.
Dari data sementara Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (Disnakertrans) Kabupaten Kuningan, kata Dani, korban PHK asal Kuningan mendekati angka 500 orang. Umumnya, mereka bekerja sebagai karyawan di berbagai manufaktur dan industri se-Jabodetabek.
“Ini data sementara, dan kemungkinan bisa bertambah. Saya imbau para buruh asal Kuningan sebaiknya segera terdata. May Day tahun ini kita tidak menggelar aksi, tetapi menggantinya dengan kegiatan peduli Covid-19,” ujar Dani yang akrab disapa Toleng tersebut.
Meski tak menggelar aksi buruh, lanjut dia, namun secara resmi pihaknya mengeluarkan pernyataan sikap terkait kebijakan yang dinilai merugikan para buruh. “Para buruh tetap bisa menyampaikan aspirasi. Dianjurkan menggunakan media seperti spanduk dan poster yang terpasang di perusahaan tempat bekerja, tanpa aksi yang menyebabkan kerumunan,” jelasnya.