Pergerakan mahasiswa Cirebon ke Jakarta dan Bandung juga masif. Sampai meletus tragedi Trisakti, sejumlah mahasiswa ada di Jakarta seperti Mas Noupel, Mas Noval Fuad Hasyim putra dari kiai Buntet KH Fuad Hasyim dan sejumlah mahasiswa lainnya.
Ada juga Subhan Alba (dulu komisioner KPU) juga aktif demonstrasi di Bandung. Sebagian besar mahasiswa memilih untuk menggelorakan di daerah, karena gerakan tidak hanya di pusat tetapi juga menciptakan gelombang besar agar pusat melihat bahwa di daerah juga menuntut hal yang sama Reformasi.
Dari masjid, mulai bergerak. Orasi-orasi semakin masif di halaman kampus. Setiap hari, sebelum mimbar bebas, kami keliling kelas-kelas membawa megapone, meminta mahasiswa bergabung dan meminta dosen menghentikan perkuliahan. Ada yang menolak, ada juga yang menghentikan perkuliahan.
Eskalasi gerakan mahasiswa meningkat setelah mendengar berita bahawa mahasiswa Trisakti yang terbunuh. Seperti mempunyai amunisi, kita bergerak ke ruangan kelas untuk mengajak mahasiswa dan dosen turun di mimbar bebas.
Sejumlah tokoh sering hadir di orasi mimbar bebas, salah satunya H Soenoto. Hari kebangkitan Nasional, 20 Mei menjadi momen demonstrasi mahasiswa keluar kampus. media masih terbatas. Setelah ke DPRD, mahasiswa demonstrasi mengepung RRI menuntut Soeharto mundur.
Kami, dari IMMNI punya hubungan baik dengan RRI. Karena setiap sepekan sekali mengisi tausiyah live di RRI, sehingga banyak kenal pimpinan disana. Setelah negosiasi, kami bisa membacakan tuntutan mahasiswa dan disiarkan secara langsung.
Keesokan harinya, 21 Mei, Soeharto lengser keprabon. Mahasiswa sujud syukur, sebagian terus demonstrasi sebagian ke kampus. Setelah 22 tahun, apa kabar reformasi? Tentu kita dan generasi saat ini harus mengawal cita-cita reformasi agar tidak dicederai dan dikorupsi. Salam untuk aktivis 98. (*)