JAKARTA – Pemerintah Jerman mengizinkan semua rumah ibadah melaksanakan ritual keagamaan masing-masing mulai 4 Mei. Namun, para jemaah harus menjaga jarak minimal 1,5 meter.
Aturan itu membuat Masjid Dar Assalam di Distrik Neukölln, Kota Berlin, hanya bisa menampung sebagian jemaah.
Mengetahui hal itu, Gereja Martha Lutheran di kawasan Kreuzberg kemudian menawarkan jemaah yang tidak tertampung masjid untuk menunaikan ibadah salat di gereja tersebut pada akhir Ramadan.
Kebaikan pihak gereja itu pun disambut baik oleh imam Masjid Dar Assalam kepada kantor berita Reuters.
Karena kebaikan itu, umat Muslim di Jerman jadi lebih terfasilitasi untuk menjalankan Salat Id di momen hari pertama Idul Fitri.
“Ini adalah pertanda yang baik dan memberikan kebahagiaan pada Ramadan dan kegembiraan di tengah krisis ini,” kata imam Masjid Dar Assalam.
“Pandemi ini menyatukan kami sebagai komunitas. Krisis menyatukan masyarakat,” tambahnya.
Sepintas, menjalankan ibadah Salat Id di dalam gereja mungkin akan terdengar aneh. Hal itu juga dirasakan oleh warga Jerman yang juga jamaah masjid yang bernama Samer Hamdoun.
“Perasaan saya agak janggal karena keberadaan instrumen musik, gambar-gambarnya. Namun, saat dipikirkan lagi, saya melupakan detil-detil kecilnya. Pada akhirnya ini adalah rumah Tuhan,” kata Hamdoun.
Terlepas dari cara beribadah, baik masjid atau pun gereja memang menjadi rumah Tuhan. Membuka pintunya, pendeta gereja pun menyambut para umat Muslim dengan tangan terbuka.
“Saya memberikan kalimat sambutan dalam bahasa Jerman. Selama ibadah, saya hanya bisa berkata ya, ya, ya. Karena kami punya kekhawatiran yang sama dan kami ingin belajar dari Anda. Dan indah merasa demikian tentang satu sama lain,” kata pendeta Monika Matthias.
Tentunya kisah di atas bisa menjadi inspirasi bagi kita bersama. Walau menganut agama yang berbeda, sekiranya upaya menjaga jarak tetap dapat dilakukan bersama.
Terlebih, COVID-19 merupakan musuh kita semua saat ini. Mari saling bahu membahu. (yud/bbc)