Saya tak memungkiri manfaat toko online. Aplikasi digital via mobile phone memudahkan kita bertransaksi jual-beli, tak dibatasi ruang maupun waktu.
Tapi, mengapa Kementerian tidak mengembangkan toko online sendiri? Apakah tidak punya biaya? Bukankah membuat aplikasi toko online itu sangat mudah dan murah, bahkan bisa gratis menggunakan platform open source?
Sejak 2007, Kementerian sudah punya Gedung Smesco (Small and Medium Enterprises and Cooperatives) yang megah dan mewah di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Gedung itu dilengkapi dengan ruang pamer dan pasar produk UKM.
Kenapa tidak meningkatkan marketplace yang sudah ada itu (lengkap dengan database yang dimiliki) ke level digital?
Ketimbang dengan swasta, Kementerian juga semestinya bisa menjalin sinergi dengan dua badan usaha milik negara, sekaligus menghemat dana publik: dengan PT Sarinah yang menyediakan pasar produk UKM lokal, serta PT Telkom yang menyediakan platfom toko online Blanja.com (dengan syarat Telkom mendepak partner multi-nasional Ebay dulu).
Membangun digital-marketplace besar tentu saja tidak cukup hanya dengan menyediakan aplikasi. Ini juga memerlukan manajemen dan sistem pengelolaan. Jika Kementerian lagi-lagi mengeluh tak punya sumberdaya, kita perlu mempertanyakan kemana dan untuk apa anggaran serta pegawai yang banyak selama ini dikerahkan.
Menurut saya, Kementerian perlu memiliki marketplace UKM sendiri. Mengapa? Agar bisa mengendalikan tujuan untuk benar-benar mengembangkan dan memberdayakan UKM lokal. Tujuan seperti itu tidak bisa diharapkan pada toko online swasta.
Toko online memang berjasa memperbesar omset dan transaksi jual-beli. Masalahnya: barang dari manakah yang dijual?
Miftahul Choiri, pejabat Bank Indonesia, belum lama lalu menyebut bahwa mayoritas barang yang dijual di toko online adalah barang impor. Dengan kata lain, toko online menguntungkan produsen asing ketimbang lokal; serta memperparah defisit perdagangan nasional kita.
Bhima Yudhistira, pengamat ekonom Indef (Institute for Development of Economics and Finance), memperkuat pernyataan Choiri. “Sekitar 93 persen barang yang dijual di marketplace adalah barang impor. Produk lokal hanya 7 persen,” kata Yudhistira.
Toko-toko online berkontribusi meningkatkan impor barang konsumsi, yang pada 2018, misalnya, naik 22 persen.