JAKARTA – Jepang resmi mengakhiri status darurat corona virus disease (covid-19), kendati negara itu tidak menerapkan lockdown ataupun pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Saat ini, tingkat infeksi di Jepang berkurang menjadi belasan setiap harinya.
Jepang mampu mencapai level tersebut, meskipun sebagian besar kebijakan di sana mengabaikan pedoman standar pemutusan rantai penyebaran virus corona. Tidak ada batasan yang diterapkan pada pergerakan penduduk, dan bisnis dari restoran hingga penata rambut tetap buka.
Tidak ada aplikasi berteknologi tinggi yang melacak pergerakan orang, ditambah tak ada pusat pengendalian penyakit. Dan, bahkan ketika negara-negara berlomba melakukan pengujian, Jepang hanya menguji 0,2 persen dari populasinya -salah satu tingkat terendah di antara negara-negara maju.
Namun, Jepang mampu meratakan kurva penyebaran virus dengan 17.000 kasus dan 826 kematian di negara dengan penduduk 126 juta. Capaian tersebut merupakan angka terbaik di antara kelompok tujuh negara maju.
Di Tokyo, kota yang padat penduduk di Jepang, banyak kasus infeksi turun menjadi satu digit pada beberapa hari belakangan. Lalu, ketika kemungkinan gelombang infeksi kedua yang lebih parah selalu ada, Jepang sudah mencabut keadaan darurat, dan mulai menjalani kehidupan normal mulai Senin (25/5/2020).
Lalu, bagaimana mungkin Jepang bisa mengendalikan penyebaran virus ini tanpa berkiblat pada pedoman yang digunakan oleh negara-negara lainnya?
Hanya satu hal yang disepakati: bahwa tidak ada solusi instan, dan faktor lain yang membuat pembedaan dalam kasus ini.
“Hanya dengan melihat angka kematian, kita dapat mengatakan Jepang berhasil,” kata Mikihito Tanaka, Profesor di Universitas Waseda, yang berspesialisasi dalam komunikasi sains. “Tetapi bahkan para ahli pun tidak tahu alasannya,” sambung dia.