JAKARTA – Pemerintah diminta menjalankan hasil kajian dan rekomendasi KPK terkait perbaikan pelaksanaan program Kartu Prakerja. Lembaga antirasuah itu juga telah mengirim hasil kajiannya kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto, pada 2 Juni 2020. Diduga ada potensi penyimpangan dalam pelaksanaannya di lapangan.
“Kajian KPK ini harus jadi perhatian pemerintah. Banyak celah yang harus segera dibenahi. Ikuti saja rekomendasi KPK. Seharusnya KPK juga sudah melakukan penyelidikan untuk menemukan ada atau tidaknya unsur tindak pidana korupsi atas program tersebut. Harapannya, KPK bukan saja melakukan kajian. Tetapi harusnya sudah melakukan paling tidak penyelidikan untuk menemukan ada atau tidaknya pidana. Karena indikasi-indikasi sudah ada. Program pelatihannya kan sudah berjalan, pencegahan itu untuk sesuatu yang akan dijalankan. Bukan yang sudah berjalan,” kata Inisiator Prakerja.org, Andri W Kusuma, di Jakarta, Sabtu (20/6).
Menurutnya, pemerintah sebaiknya menunda atau mengubah skema pelatihan online menjadi bantuan tunai. Terlebih setelah ditemukan sejumlah masalah. Program pelatihan online Kartu Prakerja sebaiknya dilaksanakan usai pandemi Covid-19. Sebab, lapangan kerjanya juga belum tersedia. Selain itu, industri juga saat ini belum dapat menyerap tenaga kerja.
“Setelah pandemi berakhir, sebaiknya program pelatihan online Kartu Prakerja lebih banyak libatkan Disnaker. Karena di Disnaker itu ada BLK (Balai Latihan Kerja) yang lebih tahu budaya setempat, kearifan setempat, dan karakter masyarakatnya,” ucap Andri.
Sebelumnya, KPK telah menyelesaikan kajian atas program Kartu Prakerja saat pandemi Covid-19. Beberapa temuan KPK terkait program kartu prakerja antara lain sekitar 9 juta calon peserta yang mendaftar bukan yang disasar oleh program ini. Kemudian penggunaan fitur “face recognition” dengan anggaran Rp30 miliar sangat tidak efisien untuk kepentingan pengenalan peserta.
Kemudian, kerja sama dengan delapan platform digital tak melalui mekanisme Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Sementara penetapan kerja sama bukan dilakukan oleh manajemen pelaksana. “Ada konflik kepentingan pada lima platform digital dengan Lembaga Penyedia Pelatihan,” tukasnya.
Selanjutnya, materi pelatihan tak dilakukan dengan kompetensi yang memadai. Hanya 24 persen dari 1.895 pelatihan yang layak dikategorikan sebagai pelatihan. “Dari jumlah itu, hanya 55 persen yang layak diberikan dengan metode daring. Pelatihan yang memenuhi syarat baik materi maupun penyampaian hanya 13 persen dari 1.895 pelatihan,” terangnya.