CIREBON – Polemik takhta sultan sepuh yang terjadi di Keraton Kasepuhan diharapkan bisa diselesaikan di internal. Sebab, ada tatanan adat dan tradisi yang sudah mengatur hal itu.
Sejarawan Cirebon, Mustakim Asteja mengatakan, dalam tinjauan sejarah, permasalahan yang terjadi di internal Keraton Kasepuhan. Ada tatanan adat dan tradisi yang dilaksanakan secara turun temurun. Tatanan adat telah lama menjadi hukum yang berlaku di dalam lingkungan keraton dalam meredam setiap konflik yang kerap mencuat.
Aturan adat atau pepakem mengenai pengganti sultan, misalnya telah diatur dan telah dicontohkan semenjak didirikanya Kesultanan Cirebon. “Restu dari sesepuh keluarga keraton juga menjadi pertimbangan atas permasalahan di internal keraton,” ujar Mustakim, kepada Radar Cirebon.
Disampaikan dia, pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, pemerintah kolonial memberlakukan surat penetapan dari Raja Belanda mengenai aturan tentang penerus tahta, atau kepemimpinan kesultanan yang harus putera kandung yang tertua.
Selain terkait dengan pengangkatan putera mahkota, pemerintahan Hindia Belanda juga turut terlibat dalam setiap terjadi permasalahan internal keraton. Setiap permasalahan yang tak dapat diselesaikan melalui pepakem atau adat tradisi keraton, Pemerintah Hindia Belanda akan bertindak sebagai mediator.
“Polemik yang terjadi di keraton akan dimedia oleh langsung oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda karena Statsu Cirebon saat itu adalah gubernemen landen,” ungkapnya.
Atas hal tersebut, Mustakim mengatakan bahwa persoalan yang terjadi di keraton saat ini, pepakem atau adat tradisi yang berlaku di lingkungan keraton tak lagi ampuh menjadi solusi, dirinya menganggap perlu adanya mediasi dari pihak pihak yang mempunyai kekuasaan. Dalam hal ini adalah pemerintah. (awr)