Secara teoritis, makin dikenal, makin punya potensi untuk dipilih. Dan semakin rendah pengenalan, kecil juga kemungkinan untuk dipilihnya. Masih terbukanya kemungkinan para calon lain bisa mengalahkan Daniel, tergambar juga dari jumlah pemilih yang masih 70,6% mengambang dan belum bertuan. Ini artinya, lahan luas pemilih yang masih bisa diperebutkan siapa saja. Begitu juga dengan elektabilitas pada strong supporternya (pemilih militan) rata-rata calon yang masih di bawah 10%.
Daniel sebagai calon dengan elektabilitas tertinggi, misalnya, baru mengantongi pemilih militan sekitar 7,3%, KH Syatori 4,1%, Juhadi Muhammad 3,9%, Taufik Hidayat 3,2%, Toto Sucartono 2,7%, Hj Ami Anggraeni 2,5%, Kiai Abas 1,6%. Selebihnya di bawah 1%. Biasanya, calon yang aman melenggang untuk menang itu strong supporternya harus 25% ke atas.
Yang harus diwaspadai Daniel, jika terjadi aliansi dukungan mayoritas parpol yang sepakat mengusung pasangan calon dengan isu perubahan. Apalagi, Daniel dipersepsi sebagai figur yang merepresentasikan dinasti dan incumbent. Sehingga, potensial memunculkan common enemy dengan constrasting figure status quo versus perubahan.
Apalagi, jika ada kader potensial Golkar yang maju diusung koalisi parpol dengan isu perubahan melawan Daniel. Misalnya, Taufik Hidayat, Ami Anggraeni dan Syaefuddin. Mereka berpotensi memecah pemilih Golkar dan juga bisa menggerus suara Daniel. Yang pasti, berbagai kemungkinan masih bisa terjadi. Terutama, karena mayoritas pemilih, di atas 60% baru akan menentukan pilihannya pada saat sudah resmi ada pasangan, saat memasuki masa kampanye, dan ada juga pada saat pencoblosan. (oet)