Musababnya adalah, angka pendapatan kenaikan gaji normal di luar promosi sepanjang tahun 2016 sebesar rerata 10 persen, dan lonjakan harga rumah dengan angka asumsi minimal 20 persen.
Dari survei itu, disebutkan bahwa pendapatan rata-rata penduduk usia 30-35 tahun saat ini adalah Rp6.072.111 per bulan. Sedangkan untuk dapat mencicil rumah dengan harga termurah Rp300 juta, dibutuhkan pendapatan minimal Rp7,5 juta per bulan.
Sementara bila ditelusuri secara historis sejak 2009-2012 yang merupakan era ledakan (booming) properti, kenaikan harga rumah bisa mencapai 200 persen, atau 50 persen per tahun. Dari data ini, diprediksi peningkatan harga rumah dalam lima tahun mendatang sekitar 150 persen. Sementara kenaikan pendapatan hanya 60 persen dalam periode yang sama.
Simulasinya, dengan estimasi kenaikan minimal 20 persen per tahun, harga rumah yang saat ini dipatok Rp300 juta akan menjadi Rp750 juta. Bandingkan dengan kisaran penghasilan generasi milenial pada tahun 2021 mendatang yang hanya ada di angka Rp12 juta.
Ketua REI Komisariat Cirebon, Gunadi menyebutkan, ceruk pasar milenial yang ngos-ngosan dengan rumah komersil turut menyumbang rendahnya daya beli rumah non subsidi. “Jadi penghasilan mereka ini ngambang. Subsidi nggak bisa dapat, untuk komersil nggak mampu,” tutur Gunadi.
Menurut dia, problem ini harus jadi perhatian pemerintah. Terutama dengan urusan perpajakan yang salah satunya PPN 10%. Pajak ini sangat terasa. Cicilan bisa jadi dua kali lipat gara-gara tambahan komponen ini.
Atas problematika ini, REI mendorong pemerintah memberikan kebijakan. Mengingat masalah milenial sulit beli rumah tidak hanya terjadi di Kota Cirebon. Hampir merata di seluruh Indonesia. Oleh sebab itu, pemerintah pusat harus berperan.
REI memberikan beberapa usulan. Pemerintah bisa memfasilitasi rumah komersil bersubsidi. Bisa juga down payment (DP) komersil dan sistem pembayaran secara subsidi. Dengan kata lain, bunga yang disubsidi dengan jangka waktu tertentu. (apr/yud)