Dewan Adat sendiri terdiri dari berbagai pihak, seperti ulama sepuh, pesantren, sejarawan, hingga pakar hukum. Tugas dewan adat ini salah satunya meluruskan sejarah dan merumuskan solusi berdasar kebenaran sejarah.
“Bagi PCNU Kota Cirebon, konflik di Keraton Kasepuhan tidak boleh dianggap sepele. Karena telah menyangkut pelurusan sejarah dan juga warisan Sunan Gunung Jati. Masalah ini tidak boleh berlarut-larut,” ungkapnya.
SILATURAHMI ULAMA
Terpisah, para ulama dan pengasuh pondok pesantren di Cirebon mengadakan pertemuan di Pondok Pesantren Gedongan, Senin sore (23/8). Pertemuan itu menghasilkan tiga keputusan terkait polemik Kesultanan Kasepuhan.
Dalam pertemuan itu, hanya dihadiri Polmak Kesultanan Kasepuhan yakni Raden Rahardjo Djali. Sedangkan Luqman Zulkaedin dan Heru Rusyamsi, meskipun telah diundang namun tidak hadir.
Penggagas pertemuan ulama, KH Abdul Hayyi kepada Radar mengatakan, pihaknya sengaja mengadakan pertemuan para ulama dan pengasuh pondok pesantren di Cirebon untuk mencari solusi terkait polemik Keraton Kasepuhan.
“Silaturahmi para ulama dan pengasuh pondok pesantren bertujuan untuk ikhtiar solusi islah kisruh para pihak kesultanan Kasepuhan untuk tidak berkepanjangan,” ujarnya.
Hayyi mengungkapkan, pihaknya mengundang tiga pihak yang berpolemik di Keraton Kasepuhan. Namun hanya Rahardjo Djali yang hadir.
Ditanya hasil pertemuan itu, Hayyi menjelaskan ada poin penting yang menjadi hasilnya. Pertama, Sultan sama sekali tidak boleh mengenyampingkan marwah Islam dan harus ada kerja sama yang baik atas semua tindakan yang menyangkut keraton yang berkaitan dengan masyarakat, maka kiai menjadi rujukan.
Kedua, untuk memutuskan siapakah nanti pemegang takhta, disarankan oleh para kiai bukan hanya saja trah, tetapi kelayakan dan kepantasan yang bisa diharapkan bisa bekerja sama dengan pondok pesantren. Dengan tidak mengenyampingkan adat istiadat yang ada di Kasepuhan. Ketiga, para pihak yang berseteru harus segera islah. (awr/den)