SUMBER – Forum Honorer Pendidik dan Tenaga Kependidikan (FHPTK) PGRI Kabupaten Cirebon tidak lagi harmonis dengan internal PGRI. Mereka memutuskan keluar dari keanggotaan PGRI Kabupaten Cirebon.
Mereka memilih mandiri, dan membentuk struktur keorganisasian sendiri. Pasalnya, induk organisasi guru itu, dinilai tidak sejalan dengan FHPTK. Tidak memperjuangkan nasib honorer, yang selama ini terus digaungkan.
Ketua FHPTK Kabupaten Cirebon Sholeh Abdul Ghofur SPd mengatakan, harapan besar setelah konkab PGRI Kabupaten Cirebon 26 Juli lalu begitu besar. Ada semangat baru di kepengurusan baru. Guru honorer akan diberi porsi. Masuk di struktural kepengurusan PGRI. Membuat pergerakan, memperjuangkan honorer lebih nyata.
Namun, harapan itu kandas. Kebijakan pun tidak ada, yang berpihak pada honorer. Utamanya, masalah kesejahteraan. Padahal, 6.675 honorer di Kabupaten Cirebon andilnya besar untuk daerah. “Faktanya, itu tidak. Bikin kami kecewa. Tapi kami tidak berkecil hati. Tidak ambisius masuk ke ruang itu. Akhirnya memutuskan untuk mandiri. Gerakannya jauh lebih nyata,” tegas Sholeh, kepada Radar, kemarin. (21/9).
“Ketika PGRI berbicara memperjuangkan, mana? Kebijakan apa yang dihasilkan. Nol besar. Tidak ada yang berpihak pada honorer. Untuk anggaran saja, tidak ada yang diusulkan ke Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI,” imbuhnya.
Lebih jauh Sholeh menggambarkan, untuk skala wilayah III Cirebon, PGRI yang visinya sejalan dengan forum honorer hanya ada di Kabupaten Kuningan. “Di Kuningan, jalan. Ada anggaran untuk honorer dari Kementerian. Mata anggaranya bunyi. Karena ada upaya, honorer di sana (Kuningan, red) diperjuangkan oleh PGRI. Di sini, mana ?” keluhnya.
Sholeh mengaku, pengurus FHPTK memang dimasukkan dalam kepengurusan PGRI. Tapi di anak lembaga yang perjuangannya tidak luas. “Tawaran itu kami tolak. Sebab, anak lembaga itu tidak ada perjuangannya,” ucapnya.
Meski demikian, kata Sholeh, pihaknya tetap bermitra dengan PGRI bukan menjadi rival. Bagaimana pun juga PGRI tetap sebagai orang tua kandung. “Namun pada prinsipnya, kami tidak mau disetir. Kami punya prinsip sendiri dalam berjuang,” tandasnya.
Sholeh mengungkapkan, dengan mandiri, pihaknya berhasil memperjuangkan honorer Pendidikan Profesi Guru (PPG) 125 orang dari guru SD dan SMP. Dengan tunjangan profesi guru bukan PNS sebesar Rp1,5 juta per bulan dari Kemendikbud RI. “Ini kami yang berjuang,” pungkasnya. (sam)