JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebutkan terdapat sejumlah risiko terkait belanja dalam penanganan pandemi Covid-19. Sebab, dana yang digelontorkan tidak sedikit, yakni Rp695 triliun.
Inspektur Jenderal Kemenkeu Sumiyati menuturkan, risiko pertama berkaitan dengan eberadaan data penerima bantuan yang berpotensi tidak baru dan fiktif.
“Ada risiko data penerima bantuan, ada risiko-risiko yang kami hadapi adalah data tidak update,” ujarnya, dalam video daring, kemarin (29/9).
Kemudian, risiko kedua, yakni kebijakan teknis di kementerian. Risiko tersebut sering membuat penyaluran bantuan terganggu karena kebijakan teknisnya belum selesai dirumuskan.
Selanjutnya, risiko ketika adanya data duplikasi dalam penyaluran bantuan. Terakhir, keterlambatan penyaluran, risiko fraud dalam penyaluran, dan ketidaksiapan pihak ketiga memberikan jasa.
“Ada risiko juga dari ekspektasi, realita di lapangan berbeda jauh dengan harapan masyarakat,” ungkapnya.
Untuk menekan berbagai risiko tersebut, kata dia, pemerintah akan memperbarui data secara berkala. Selain itu, pemerintah juga bakal membuka layanan informasi dan pengaduan.
“Kami terus monitoring, tugas kami kawal saat dilakukan pembayaran oleh Dirjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan,” ucapnya.
Terpisah, ekonom senior INDEF sekaligus Komisaris Independen PT Bank Mega Tbk, Aviliani mengatakan, menyoroti permasalahan penyerapan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) terletak pada data yang masih amburadul.
“Untuk yang berkaitan dengan demand side sebetulnya cukup besar yaitu Rp203 triliun dan sisanya sekitar Rp400 triliun sekian itu untuk supply side. Nah di dalam demand side pemerintah ada beberapa persoalan yang dihadapi, pertama persoalan data,” ujarnya di Jakarta, kemarin (29/9).
Menurut dia, orang miskin baru selama Covid-19 belum terdeteksi semuanya. Sementara sebagian lagi orang miskin baru sedang diverifikasi datanya. Dengan demikian, ada di masalah data.
Masalah kedua, lanjut dia, untuk bantuan subsidi gaji di bawah Rp5 juta ini banyak merangkul sektor formal dibanding sektor informal. Sebetulnya, kata Aviliani, sektor informal cukup banyak, hanya saja belum terdeteksi dari sisi pendataan pemerintah.
“Problem pemerintah adalah implementasinya (PEN) sampai dengan bulan September ini baru 35 persen. Yah, mudah-mudahan di triwulan ke-4 bisa terserap, oleh karena itu mungkin yang dibutuhkan adalah gunakanlah data yang ada saja,” ucapnya.