Dua Cita-cita Jurnalis Senior dan Budayawan Cirebon, Nurdin M Noer yang Tertunda

keluarga-nurdin-m-noer
Keluarga Nurdin M Noer. Foto: Okri Riyana/Radar Cirebon
0 Komentar

Dunia jurnalis Cirebon berduka. Seiring dengan wafatnya jurnalis senior Cirebon, Nurdin M Noer, pada Rabu malam (30/9) sekitar pukul 23.30 WIB. Selain terkenal sebagai wartawan senior, Nurdin pun  berkiprah menjadi budayawan yang konsen terhadap kelestarian bahasa Cirebon.

AZIS MUHTAROM, Cirebon
KAMIS pagi, tepat tanggal 1 Oktober 2020, dipenuhi broadcast pesan berantai kabar berpulangnya seorang tokoh jurnalis senior Cirebon tersebut. Ucapan duka, belasungkawa, serta doa yang mengiringi kepergian almarhum. Dari kerabat, rekan wartawan, tokoh, serta pejabat di Cirebon, bersahutan di media sosial maupun grup whatsapp.
Sebagai seorang wartawan yang telah menekuni dunia jurnalistik sejak tahun 1976, Nurdin M Noer memang sangat familiar di antara berbagai kalangan di Cirebon dan sekitarnya. Mengingat, sangat memungkinkan bagi seorang yang berprofesi sebagai wartawan, untuk kenal dan berinteraksi dengan banyak orang dan berbagai kalangan.
Sehingga, tidak heran banyak yang punya cerita dan kenangan atas interaksi yang telah terjalin sejak puluhan tahun, mewarnai perkembangan Kota Cirebon. Baik dari sisi pemerintahan dan sosial, maupun kebudayaan.
Nurdin M Noer mengawali karir sebagai jurnalis sebagai penyiar radio pada tahun 1976, pada radio siaran pemerintah daerah (RSPD) Kotamadya Cirebon. Saat itu, dia juga diberi tugas sebagai pengasuh sastra di radio tersebut.
Kemudian, almarhum juga menekuni aktivitas sebagai kolumnis di berbagai surat kabar nasional, salah satunya Berita Buana.
Tulisan-tulisan yang ditorehkan pria kelahiran Cirebon 8 Maret 1954 tersebut, lebih banyak mengupas sisi kesusastraan dan bertemakan budaya. Meski pun, ada beberapa karya tulisan tema lain yang menjadi fenomenal seperti buku yang berjudul Membangkitkan Ekonomi di Jalur Pantura (2003), dan Bulan Tanpa Awan (2000).
Tulisannya pada kolom opini di berbagai surat kabar lokal maupun nasional, termasuk karya buku yang diterbitkan almarhum, jika dikumpulkan mencapai lebih dari 4 ribu tulisan. Yang paling memorial adalah upayanya menyusun buku Kamus Bahasa Cirebon bersama rekan-rekan yang tergabung dalam Lembaga Bahasa dan Sastra Cirebon (LBSC).
“Jadi, dari kecil bapak itu sering juara nulis cerpen, puisi, dan lain-lain antar sekolah. Memang bapak itu hobinya membaca dan menulis. Jadi, hobi itu dia salurkan sampai akhir hayatnya. Jelang-jelang akhir, beliau masih sempat nulis kolom Bahasa Cirebon di beberapa koran lokal Cirebon,” ujar Sri Amanah (62), istri almarhum.

0 Komentar