CIREBON – Bus Rapid Transit (BRT) bantuan dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub) masih terparkir di Kantor Dinas Perhubungan (Dishub). Sudah 2 tahun armada ini terkendala masalah operator. Bahkan setelah pergantian 3 kepala dinas, masih belum ada kepastian.
Anggota DPRD, Imam Yahya menyayangkan keberadaan BRT yang tak kunjung termanfaatkan. Padahal, bus bantuan kemenhub tersebut akan sangat berarti untuk menunjang sistem transportasi perkotaan. “Ini sudah 2 tahun. Sudah 3 kali ganti kadishub. Ternyata belum ada titik terang,” kata Imam, kepada Radar Cirebon, Senin (12/10).
Sempat ada harapan untuk akselerasi operasional BRT. Terutama saat walikota memberi penugasan kepada Perusahaan Daerah Pembangunan (PDP). Sayangnya, hasil kajian yang dibuat perusahaan daerah tersebut, tidak memungkinkan dioperasikan tanpa APBD.
Dengan kadishub yang baru, Imam berharap ada terobosan dalam upaya mengoperasikan BRT. “Kuncinya harus memiliki kemauan mengoperasikan. Jangan sampai mubazir,” tandasnya.
Dia tidak mempermasalahkan bila nantinya pemkot menggandeng Dishub Jabar ataupun pihak lain untuk mengoperasikan 10 armada transportasi masal tersebut. Yang terpenting harus segera dijalankan.
Pihaknya berharap rencana wakil walikota akan rapat bersama provinsi membahas BRT ini ada titik terang. Jangan sampai BRT semakin tidak ada kepastian karena dikhawatirkan malah rusak. “Kita tunggu saja hasil pertemuan wawali dengan Pemprov Jabar bagaimana,” tukasnya.
Sementara itu, Wakil Walikota Cirebon, Dra Hj Eti Herawati menjelaskan, persoalan BRT memang masih dalam proses. Dari beberapa kemungkinan operasional, salah satunya adalah trayek lintas wilayah. Karenanya, tidak bisa dikelola sendiri oleh Pemerintah Kota Cirebon. “Kalau lintas daerah harus melalui dishub provinsi. Ada proses izin trayek termasuk pengelolaannya,” kata Eti, belum lama ini.
Sebagai langkah awal, kata wawali, pemkot sudah koordinasi dengan Dishub Provinsi Jawa Barat. Langkah berikutnya adalah melakukan konsultasi lanjutan. Rencananya, pekan depan akan bertemu dengan provinsi.
Dari pembicaraan awal, memang ada beberapa hal yang dapat disimpulkan. Bila BRT beroperasi di Kota dan Kabupaten Cirebon, koordinasi cukup dengan bupati.
Tapi, dalam BRT juga ada kepentingan dengan Bandara Kertajati Kabupaten Majalengka. Sehingga, tidak cukup hanya dua daerah tapi wilayah Ciayumajakuning. Dengan keterlibatan banyak daerah, tentu harus dibicarakan bagaimana regulasinya. “BRT itu efektifnya untuk wilayah III. Regulasinya, saya minta arahan provinsi dulu,” terangnya.