Di Lapas Mako Brimob Kelapa Dua, Kota Depok, Maman menempati sebuah sel di Blok A. Hampir setengah tahun dia mendekam di sana sampai akhirnya dipindahkan ke Nusakambangan pasca kerusuhan pada Mei 2018.
Maman masih mengingat ketegangan selama dua hari saat tragedi berdarah itu terjadi. Menurut dia, kericuhan bermula dari Blok C. Sejumlah napi bahkan memegang senjata api. Setelah dua hari diblokade dan kehabisan logistik napiter yang sebelumnya mengamuk akhirnya mau berdamai dan kerusuhan pun mereda.
Setelah itu, Maman dan napiter lainnya diboyog ke Nusakambangan. Sekitar 20 hari dia ditahan di sana kemudian dipindahkan lagi ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas III Gunung Sindur, Kabupaten Bogor. “Sekitar tujuh bulan saya di Gunung Sindur,” ujarnya.
Selama berada di dalam sel tahanan kelas kakap itu, Maman mengaku sangat tertekan. Dia sempat menempati sel tikus alias selti. Ruangannya sangat sempit sampai dia tak bisa berbaring untuk tidur. Maman mengaku sampai mengalami gejala kelumpuhan. Untuk menjalani persidangan, dia digedong oleh petugas atau sesama napiter.
“Itu masa-masa paling berat saya selama dalam tahanan. Saya akhirnya divonis 3,5 tahun penjara kemudian dipindahkan lagi ke Nusakambangan,” tutur Maman.
Tiba di Nusakambangan untuk kedua kalinya, Maman merasa lebih lega. Di sana dia bisa merenungkan kembali nasibnya. Berbagai pertentangan mulai terjadi dalam keyakinannya. Pertanyaan-pertanyaan mendasar mulai timbul dari dalam hatinya.
Dia memiliki waktu untuk mempertimbangkan kembali, apakah jalan yang ditempuhnya adalah jalan yang benar atau malah sebaliknya. “Banyak yang saya fikirkan. Terutama keluarga. Apalagi setelah saya mendapat kabar kalau istri sakit. Cukup serius. Ada semacam tumor di dadanya. Saya juga memikirkan tiga anak saya. Saya merasa telah menyia-nyiakan mereka,” ungkapnya.
“Dulu waktu saya mulai mengikuti kajian-kajian itu niatnya untuk memperdalam Islam. Sekarang saya sadar ada yang keliru. Ketika saya mulai merasa benar sendiri kemudian menutup diri dan mengafirkan orang lain. Itu yang bahaya,” imbuh pria kelahiran Tasikmalaya 40 tahun silam itu.
Sebelum terlibat jaringan terorisme, Maman memiliki usahanya sendiri. Dia membuka bengkel motor tidak jauh dari rumahnya. Kini semua itu sudah tidak ada lagi. Untuk membuka kembali bengkelnya dia pun merasa berat.