“Kalau memang faktanya benar, bahwa putusan BK dibacakan tanpa kehadiran teradu, dalam hal ini ketua DPRD, berarti (putusan BK) batal demi hukum”
Prof Dr I Gede Pantja Astawa SH MH, Pakar Hukum Tata Negara Unpad Bandung
KUNINGAN – Sejumlah pihak angkat bicara terkait putusan Badan Kehormatan (BK) DPRD Kuningan, yang merekomendasikan pemberhentian Nuzul Rachdy SE dari posisi ketua DPRD. Pakar Hukum Tata Negara sekaligus Guru Besar Unpad, Prof Dr I Gede Pantja Astawa SH MH menyebut, putusan BK batal demi hukum.
“Kalau memang faktanya benar, bahwa putusan BK dibacakan tanpa kehadiran teradu, dalam hal ini ketua DPRD, berarti (putusan BK) batal demi hukum. Kenapa? Jangankan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) yang namanya BK, kalau kita bandingkan dengan peradilan pada umumnya, tiap putusan harus dihadiri terdakwa. Bahkan, saat membuka persidangan, hakim harus mengatakan sidang terbuka untuk umum, kalau tidak diucapkan bisa batal persidangan,” kata Prof I Gede dalam keterangan persnya, Selasa (3/11).
Seharusnya, lanjut I Gede, BK DPRD Kabupaten Kuningan menunda persidangan sampai teradu hadir dalam persidangan. Apalagi, ia berpandangan, secara hukum putusan BK cacat, tidak memiliki kekuatan apapun dan tidak membawa konsekuensi apapun terhadap ketua dewan.
“Susahnya sebagai teradu, tidak bisa melakukan perlawanan. Kalau di peradilan umum, seseorang bila dijatuhi hukuman bisa mengajukan banding, kasasi, hingga peninjauan kembali, jika tidak puas dengan putusan hakim,” ujarnya.
Menurut I Gede, meski sanksi yang dijatuhkan BK kepada Nuzul Rachdy berkategori sedang, namun putusan itu menjurus ke pemberhentian ketua DPRD. Padahal, kata dia, BK tidak memiliki kewenangan dalam memberhentikan seorang ketua dewan. Hal itu lantaran, baik pimpinan maupun anggota DPRD, diangkat oleh gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah.
“Logika hukumnya, seharusnya gubernur yang memberhentikan, sehingga ini sangat fatal. Mengapa BK menjatuhkan sanksi sedang? Karena mereka terikat peraturan DPRD. Harusnya peraturannya direvisi, sehingga masalahnya menjadi clear,” ungkap Prof I Gede.
Seharusnya, kata dia, BK hanya memberikan teguran keras kepada yang bersangkutan, sehingga tidak perlu ke pemberhentian sebagai ketua dewan. BK, menurutnya, harus mengeluarkan putusan secara bijak dan tanpa tekanan apapun.