“Kami akan komunikasikan. Ini masih bisa didesak. Biar kebijakannya itu berpihak kepada buruh. Intinya harus ada kenaikan yang rasional,” tandasnya.
Ia menyampaikan, ketika pemerintah tidak bisa mengupayakan nasib buruh dan memaksakan kebijakan itu, pasti akan banyak reaksi yang mungkin lebih parah lagi. “Saya kira wajar ya, buruh beraksi. Karena urusannya dengan perut. Daya beli pun akan turun,” ungkapnya.
Sementara, Kepala Disnakertrans Kabupaten Cirebon, Erry Achmad Khusaeri MM menyebut, penolakan yang disampaikan para buruh adalah hal yang wajar.
Namun, jika melihat dari sudut pandang pengusaha tentunya upah tersebut dilihat dari biaya produksi yang harus dipikirkan secara matang.
“Maka keinginan mereka dalam kondisi pandemi ini sesuai SE Menaker tidak naik,” imbuhnya.
Pemerintah sambung Erry, mencoba memfasilitasi keduanya dengan melakukan musyawarah untuk mencapai kesepakatan dan disepakti naik sebesar 3,33 persen.
Sementara itu, Bupati Cirebon Drs H Imron MAg dalam beberapa kesempatan mengatakan, secara pribadi ia berharap kenaikan UMK bisa sesuai dengan kebutuhan. Namun menurutnya, semua pihak harus melihat situasi terkini kondisi perekonomian pada masa pandemi Covid-19.
“Saya juga maunya UMK naik besar, tapi kan harus realistis. Pengusaha mana yang mampu membayar dengan upah tinggi di masa seperti ini?” bebernya.
Menurutnya, banyak investor yang masuk ke Cirebon karena berkeinginan menekan biaya yang dikeluarkan. Ini karena UMK Cirebon lebih murah ketimbang kota-kota besar lainnya seperti Karawang, Bekasi dan Jakarta.
“Saya pernah nanya ke salah satu investor kenapa mau pindah ke Cirebon? Alasannya itu karena bisa menekan biaya yang dikeluarkan setiap bulannya. Contohnya dengan 20 ribu karyawan, mereka bisa menghemat sampai 40 miliar. Pemkab Cirebon juga harus menjaga iklim investasi agar proses pemulihan perekonomian di Kabupaten Cirebon bisa berlangsung cepat,” ungkapnya. (azs/sam/dri)