SUMBER – Upaya pemekaran Wilayah Timur Cirebon (WTC) terus disuarakan. Berbagai dokumen pendukungnya juga dipersiapkan. Sayangnya, rencana tersebut ditolak Ketua DPRD Kabupaten Cirebon Mohamad Luthfi MSi. Statemen politisi PKB itu akhirnya mendapat kecaman dari Komite Pemekaran Cirebon Timur (KPCT).
“Kami warga WTC dan juga para tokoh kecewa dengan statemen Ketua DPRD yang tidak mendukung pemekaran WTC. Sebab, perjuangan kami ini sudah 15 tahun, namun belum direalisasi,” tegas Ketua Penelitian dan Pengembangan KPCT, Adang Juhandi, kepada Radar, kemarin.
Menurut Adang, Luthfi yang terpilih di Dapil VII (WTC) itu seperti tidak mempunyai rasa memiliki WTC. “Memang yang bersangkutan tidak dilahirkan dan dibesarkan di WTC. Namun, sebagai Ketua DPRD harusnya Luthfi bisa mengakomodir keinginan masyarakat. Apalagi, dengan gerakan pemekaran WTC. Luthfi lahir dan dibesarkan tidak di WTC sehingga ‘sense of belonging’ atau rasa memilikinya tidak ada. Tidak begitu greget,” tuding Adang yang juga tokoh masyarakat WTC itu.
Adang menilai Luthfi memandang sebuah pemekaran hanya dilihat dari segi luas wilayah dan jumlah penduduknya saja. Tidak melihat secara global eksistensi WTC, baik secara sumber daya manusia (SDM) maupun sumber daya alam (SDA)-nya. “Yang jelas, pemikiran semacam itu, bagian dari pribadi karena belum komunikasi atau bertemu secara personal,” katanya.
Artinya, lanjut Adang, ketika sudah nyambung, dipastikan yang bersangkutan bisa satu persepsi bahwa WTC bagian daerah yang harus memang mekar dan mandiri. “Secara kelembagaan baik sebagai ketua partai maupun sebagai ketua DPRD, saya yakin bicara di publik sudah melalui mekanisme kelembagaan,” imbuhnya.
Di DPRD sendiri, sambung Adang, jika menolak atau menerima tentu melalui paripurna. Sebagai ketua partai tentu melalui mekanisme di partainya sebagai bagian dari sikap politik. “Memang wajar ada pro dan kontra soal rencana pemekaran WTC itu. Karena bagian dari pendewasaan berpolitik,” tukasnya.
Namun, yang jelas market pemekaran WTC sudah masuk di hati dan otak semua elemen di publik yang dulu di era tahun 1989, dipandang aneh dan didengungkan segelintir orang. “Bahkan disebut orang yang putus harapan karena tidak kesampaian menjadi birokrat atau politisi. Padahal sebuah pemekaran daerah bukan gerakan disintegrasi bangsa, tetapi hanya menjalankan amanat undang-undang saja,” paparnya.