Saat ini, Keraton Kaprabonan dipimpin oleh Sultan Pangeran Hempi Raja Kaprabonan. Yang menjadi penerus kesepuluh yang memimpin Kaprabonan.
Pangeran Hempi mengatakan, setelah berpisah dengan Keraton Kanoman, Sultan Kaprabonan lebih mengutamakan kembali ke ajaran Syekh Syarif Hidayatulloh dan menentang kolonial Belanda yang saat itu memecah belah keraton. Ia mengajarkan tarekat ajaran Syekh Syarif Hidayatullah kepada masyarakat.
Dulu, Keraton Kaprabonan memiliki lahan yang cukup luas. Batas tanahnya, menurut petunjuk catatan orang tua zaman dulu, dari sebelah kidul (Selatan) sampai di Jalan Lemahwungkuk ke Wetan (Timur) jalan ke Pengampon. Dari sebelah Wetan (Timur) sampai di Jalan Sasaiki (dulunya disebut Kalibacin).
Dari sebelah Lor (Utara) sampai Pasuketan belok ke Jalan Pecinan Lemahwungkuk. Dari sebelah Kulon (Barat) sampai ke jalan Lemahwungkuk sampai di desa (sekarang kelurahan) dekat alun-alun Kanoman.
“Dulu tempat luas, tapi sekarang karena memang sudah banyak yang menjadi hak milik pribadi, jadi area Kaprabonan tinggal menyisakan satu haktar,” ucapnya.
Keraton Kaprabonan sendiri, memiliki peninggalan di antaranya kitab-kitab ajaran Islam dan juga peninggalan keris turun-temurun yang merupakan pemberian dari Syekh Syarif Hidayatullah. Berbeda dengan keraton lainnya, area yang memiliki luas kurang lebih 1 Ha itu, kini tak ditempati oleh Pangeran Hempi dan keluarganya.
Sejak dua tahun lalu, ia memilih untuk tak menempati Keraton Kaprabonan. Mereka tinggal di rumah dan hanya memfungsikan Keraton Kaprabonan sebagai kegiatan adat dan budaya saja.
Di sana juga terdapat salah satu tajug atau langgar yang kerap digunakan sebagai tempat salat lima waktu. Tajug atau langgar pusaka Kaprabonan ini berdiri tahun 1707 M. Tempat ini kerap menggelar tawasulan setiap malam Jumat dan kegiatan keagamaan pada bulan Rajab dan Maulid Nabi. (*/bersambung)