Tarso dan tim bekerja layaknya orang kantoran. Mulai pukul 8 pagi hingga 4 sore. Tiap hari. Lilin terbuat dari bahan dasar parafin. Yang diperoleh dari luar Kota Cirebon. Tarso tak tahu pasti asal bahan baku itu dari mana. Dalihnya, ia hanya tahu mengerjakan. “Kemungkinan belanja parafin di Jakarta atau Bandung,” terangnya.
Parafin masih dalam bentuk serbuk. Warna putih. Sekilas seperti garam. Namun lebih lembut. Bahan baku ini kemudian direbus selama 30 menit. Sebelum ditiriskan. Setelah itu disaring. Lalu dicetak sesuai ukuran yang dikehendaki. Sebelum diangin-anginkan. “Dikeringkan, tapi jangan terkena matahari langsung nanti meleleh,” ungkapnya.
Setelah lilin itu dicetak lalu bentuknya disempurnakan. Sisa material pengerjaan yang masih kasar ya dirapihkan. Lalu beres dan dilanjut pengemasan menggunakan plastik. Plastik itu bertuliskan huruf Hanzi. Tarso sendiri tak tahu artinya. Sementara warna merah adalah pewarna. Sengaja dipilih merah yang identik dengan warna vihara.
Lilin-lilin itu adalah pesanan umat. Dibuat sesuai pesanan. Ya, momentum kali ini adalah persiapan menjelang imlek. Mayoritas umat memesan untuk diletakkan di Vihara Welas Asih itu sendiri. Sebagai simbol untuk menerangi kehidupan. Setidaknya itu yang dipercaya hingga sekarang.
Satu lilin besar ukuran 1,5 meter itu bisa bertahan hingga berbulan-bulan. Sementara untuk lilin kecil hanya hitungan hari atau minggu. Selama bekerja membuat lilin, Tarso pernah merantau ke Jakarta. Ya, masih di salah satu vihara. Ketika itu tahun 1976. Dan kembali ke Cirebon pada tahun 1980an. Karena Tarso sendiri tak hapal pasti kapan ia kembali. (*)