Produsen tempe kecele. Sudah tiga bulan harga kedelai terus merangkak. Dari Rp6.700, hingga kini Rp9.500. Per kilogram. Lantas ukuran tempe coba diperkecil. Sayangnya konsumen ogah untuk beli. Berusaha dapur tetap ngebul meski untung semakin buntung.
ADE GUSTIANA, Cirebon
KONDISI itu dirasakan oleh produsen tempe di RT/RW 02 Larangan, Kelurahan Kecapi, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon. Adalah Sarmai. Pria 53 tahun yang sejak 1992 menggeluti bisnis olah kedelai impor. Dikatakan, Rp9.500 adalah harga tertinggi sepanjang sejarah.
Ayah dari tiga orang anak itu tak pernah dapat penjelasan pasti. Kenapa harga terus naik. Padahal paling tinggi sebelumnya Rp7.500 per kilogram. Itu pun tak lama. Kemudian kembali turun. Kembali ke batas normal. Kisaran Rp6.500-7.000. “Saat ini dari Rp7.500 terus naik. Naiknya per Rp500,” katanya kepada Radar Cirebon, kemarin.
Berdasarkan kebiasaan tahun-tahun sebelumnya, kata Sarmai, kenaikan harga kedelai menyusul terjadinya penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar. Namun akhir tahun kemarin dan awal tahun 2021 ini tak demikian. Sehingga itu yang menimbulkan pertanyaan. “Kapan harga kedelai kembali turun? Atau justru akan kembali naik,” tanya dia.
Produsen tempe di Cirebon juga mengikuti perkembangan di ibu kota. Di mana pengusaha tempe memilih mogok produksi. Selama 3 hari. Pada awal Januari ini. Sebagai aksi protes terhadap pemerintah. Akan harga kedelai yang terus naik.
Harga beli naik tak dibarengi dengan harga jual. Per potong tempe tetap dibandrol Rp4 ribu. Atau Rp10 ribu untuk 3 potongnya. Sarmai sudah coba menaikkan harga. Karena adanya penambahan biaya produksi itu. Namun pembeli adalah raja.
Raja yang tidak mau beli lagi kalau harga tempe dinaikkan. Pun disiasati dengan memperkecil ukuran tempe. Tetap saja ketahuan. Protes kembali dilontarkan. “Kok ukurannya kecil? Biasanya kan ngga segitu. Konsumen komplen,” imbuh pria asli Pekalongan, Jawa Tengah, tersebut. Menyampaikan protes pedagang kepadanya.
Satu hari Sarmai memproduksi 230 kilogram kedelai. Dapurnya ngebul sejak pukul 9 pagi sampai 5 sore. Dibantu tiga karyawan lain. Mereka sudah punya pelanggan tetap. Permintaan sebanyak itu sudah pasti tiap harinya. Kaka kandung Sarmai juga sama. Usaha produksi tempe. Kemudian sang anak ikut berjualan. Di Pasar Perumnas.