Pembatasan aktivitas oleh pemerintah terlalu banyak istilah. Mulai dari PSBB, PPKM, dengan imbuhan mikro hingga parsial di belakangnya. Yang ada justru membuat bingung. Pesan tidak terlaksana dengan baik. Lalu bagaimana singkatan-singkatan itu dipandangan dari segi Ilmu Komunikasi?
ADE GUSTIANA, Cirebon“BLUNDER pemerintah menyadarkan masyarakat melalui pendekatan geografis bukan individu,” tandas Akademisi Komunikasi IAIN Cirebon DR Arief Rachman MSi kemarin. Gonta-ganti istilah pembatasan dianggap membuat bingung. Sedangkan tujuan utama dari istilah tersebut jelas tak terlaksana maksimal di lapangan.
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) atau Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) skala mikro dan istilah lain, dikatakan sebagai pendekatan geografis. Tidak menyasar individu. Sehingga tidak dipatuhi oleh individu itu sendiri. Menyebabkan masyarakat abai. Seolah tidak memiliki tanggung jawab pribadi untuk mematuhi.
Dekan Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah (FUAD) IAIN Cirebon itu mengatakan, pemilihan kata/kalimat juga mempengaruhi tingkat kepatuhan. Penggunaan kata ‘saya’ dalam penyampaian informasi dinilai lebih efektif. Lebih melekat sebagai tanggung jawab. “Misalnya: saya jaga diri saya maka saya jaga keluarga saya,” tuturnya, mencontohkan.
Pemilihan kata saya sebagai imbauan juga dianggap lebih melekat di ingatan. Dan dipatuhi oleh masyarakat itu sendiri. Sehingga dari masing-masing kesadaran individu, akan berpengaruh ke kelompok atau populasi lebih luas. “Kalau mengandalkan pendekatan dengan singkatan mikro, orang menganggap itu bukan dirinya. Tetapi orang lain,” tuturnya.
Kata ‘saya’ termasuk tidak lebih baik dari ‘kami’. Alasannya, kata Arief, kata ganti orang ketiga seperti kami/kita itu, tidak begitu melekat dan tidak memiliki tanggung jawab lebih besar secara individu. Sehingga saling mengandalkan. “Ya, pengistilahan untuk memengaruhi kebiasaan masyarakat ini sangat penting dipahami,” jelasnya.
Diharapkan dari kata ‘saya’ yang mengarah ke hal positif itu akan diikuti dengan tindakan. Tergantung dari apa yang diperintahkan. “Kita mencoba memanfaatkan istilah saya sebagai bentuk egoisme yang pada akhirnya justru menjaga diri kita sendiri, diri saya dan orang lain,” terangnya.
Termasuk kecenderungan masyarakat terkait informasi Covid-19 yang tidak seheboh awal kemunculannya. Arief menilai masyarakat sudah terlalu jenuh disuguhkan angka positif oleh pemberitaan media. Sehingga covid dianggap tak semenyeramkan dulu.