CIREBON – Banyaknya Benda Cagar Budaya (BCB) yang ada di Kota Cirebon membuat pemerintah dituntut secara aktif untuk menjaga dan merawatnya. Bagaimanapun, cagar budaya menjadi salah satu yang melekat bagi Kota Cirebon, yang konon mengusung visi sebagai Kota Kreatif bersejarah dan berbudaya.
Berdasarkan SK Walikota Nomor 19 Tahun 2001, terdapat sedikitnya 70 bangunan yang telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya. Namun demikian, beberapa di antaranya telah berubah secara fisik seperti Masjid Attaqwa. Adapula cagar budaya yang bahkan fisik bangunannya sudah tidak ada, yakni Pabrik Es Lawanggada dan eks Gedung Hotel Grand.
Tak sedikit budayawan yang merasa prihatin dengan kondisi peninggalan sejarah yang tidak diurus dengan cukup baik. Dinas Kepemudaan, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata (DKOKP) Kota Cirebon sebenarnya terus melakukan pendataan terkait kondisi exisiting cagar yang ada. Bahkan sejak 2019 lalu telah mengusulkan penambahan sejumlah objek yang diduga sebagai benda cagar budaya. Ada sejumlah objek, baik berupa kawasan, bangunan, makam, hingga kendaraan yang diusulkan.
“Kita akan mulai melakukan pendataan lagi terkait kondisi cagar budaya di Kota Cirebon. Sebab, ada yang kondisinya cukup kurang baik dan memerlukan perhatian. Termasuk pemasangan plang yang baru. Karena banyak yang kondisinya sudah usang,” ungkap Ida Kurniasih, Kepala Bidang Kebudayaan DKOKP Kota Cirebon.
Menurut Ida, ada sejumlah BCB sudah ditetapkan oleh SK Walikota, ditambah SK Menteri Kebudayaan RI. Jumlahnya kurang lebih 70. Selain itu, adapula yang dikategorikan sebagai Diduga Benda Cagar Budaya. Benda yang dikategorikan sebagai Diduga Benda Cagar Budaya sendiri merupakan BCB yang telah diusulkan oleh DKOKP, untuk kemudian disahkan oleh SK Walikota yang baru.
Beberapa objek yang telah diusulkan menjadi BCB antara lain Makam Rambut Syekh Magelung Sakti, SD Pulasaren, Pabrik Tenun Prujakan, Makam Pangeran Suryanegara, Kantor Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Satu Pintu (DPMPTS) yang merupakan bekas kantor residen, hingga Kereta Singa Barong dan Kereta Paksi Naga Liman.
“Kalau kita sesuai dengan tupoksi kita saja. Soalnya kita belum ada Perda Cagar Budaya. Jadi kewenangan kita terbatas. Hanya sampai pengawasan dan pengendalian saja,” kata Ida.