MENTERI Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menjabarkan hipotesisnya mengenai faktor penyebab tingginya angka positivity rate Covid-19. Yakni perbandingan jumlah kasus positif dengan jumlah pemeriksaan di Indonesia.
Budi menjelaskan positivity rate Covid-19 di Indonesia tinggi antara lain karena pemeriksaan belum dilakukan secara masif. Selain itu fasilitas pemeriksaan untuk mendeteksi infeksi virus corona menggunakan metode RT PCR masih terbatas. “Karena pemeriksaan menggunakan metode RT PCR membutuhkan waktu lebih lama. Juga ketersediaan laboratorium pemeriksaan menggunakan RT PCR masih terbatas,” ujar Budi di Jakarta, Rabu (17/2).
Karena itu, Kemenkes menerbitkan peraturan yang memungkinkan pemeriksaan antigen menggunakan alat tes diagnostik cepat untuk memastikan penularan virus Corona. Di samping itu, juga ada kendala dalam memasukkan data hasil pemeriksaan Covid-19 menggunakan metode RT PCR. “Banyak data di laboratorium yang belum dimasukkan. Terutama data kasus negatif,” lanjut Budi.
Menurutnya, petugas laboratorium tidak memasukkan data hasil tes PCR negatif Covid-19 karena mendahulukan data orang yang positif. Sebab, supaya mereka bisa segera menjalani perawatan dan karantina. Selain itu, respons sistem pelaporan data yang lambat dan tampilan muka sistem aplikasi yang masih rumit menghambat proses pemasukan data hasil pemeriksaan.
Untuk mengatasi masalah itu, Kemenkes telah memperbarui sistem aplikasi pelaporan data Covid-19. Termasuk menyederhanakan tampilan serta meningkatkan respons sistem. Perbaikan itu diharapkan memudahkan laboratorium memasukkan data hasil pemeriksaan Covid-19.
Budi menerangkan tidak semua petugas laboratorium, rumah sakit, dan fasilitas kesehatan secara disiplin memasukkan data hasil tes Covid-19 dengan cepat dan tepat. “Ini akan dikoordinasikan dengan pihak laboratorium dan rumah sakit. Tujuannya agar bisa memperbaiki kualitas dan timing laporannya,” ucap Menkes Budi.
Dia berharap setelah perbaikan-perbaikan yang dilakukan pendataan kasus Covid-19, bisa mencerminkan kondisi sebenarnya di lapangan. Sehingga pemerintah bisa membuat kebijakan yang lebih tepat untuk menanggulanginya.
KONTROVERSI SANKSI VAKSINASI
Sementara itu,adanya pemberian sanksi bagi masyarakat yang menolak untuk divaksin dikritisi DPR. Perpres 14 Tahun 2021 tentang perubahan atas Perpres Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi menjadi dasar hukum pemberian sanksi bagi masyarakat yang menolak divaksin.