Kompleks pemakaman masyarakat etnis Tionghoa atau Bong Cina yang berada di daerah Wanacala, Kelurahan/Kecamatan Harjamukti (Ku Tiong), kembali menjadi sorotan. Kawasan tersebut diduga menjadi tempat transaksi obat-obatan ilegal. Sebelum kasus mencuat, Bong Cina juga pernah ramai dengan kabar pembongkaran makam hingga sengketa kepemilikan lahan.
Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Walikota Cirebon tahun 2001, Kompleks Kutiong statusnya masih diduga cagar budaya. Namun demikian, Kompleks Kutiong juga merupakan satu di antara 30 objek yang akan diusulkan sebagai situs cagar budaya yang baru.
Akan tetapi, walaupun statusnya adalah cagar budaya, entah mengapa kawasan tersebut seolah tak ada perhatian dari pemerintah. Berdasarkan catatan Radar Cirebon, kompleks pemakaman yang konon telah ada sejak tahun 1800-an, kini banyak berubah. Di kawasan tersebut telah banyak didirikan sejumlah bangunan liar seperti kios, tempat usaha, garasi, indekos, hingga rumah-rumah penduduk.
Padahal, bagi masyarakat Tionghoa, Kutiong merupakan tempat yang cukup disakralkan. Di mana, di situ menjadi tempat dikuburkannya jenazah para leluhur mereka. Di sisi lain, keberadaan bagi Pemerintah Kota Cirebon adalah, lahan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH). Di mana, hingga saat ini hal tersebut masih menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi Pemkot Cirebon.
Ketua Yayasan Cirebon Sejahtera, Hadi Susanto Halim mengatakan, awalnya tanah dengan luas sekitar 25 hektare tersebut dimiliki yayasan. Tapi karena SHGB dan dokumen-dokumen lainnya tidak diurus perpanjangannya oleh yayasan, maka tanah tersebut kembali milik pemerintah.
Yang pihaknya sesali adalah, banyak berdiri bangunan di atas makam Kutiong. Sejumlah oknum meratakan makam, kemudian membangun rumah. Bahkan ada yang dengan sengaja memperjualbelikannya. Hal itu pun membuatnya merasa miris.
Selain itu, dirinya meminta kepada Pemkot Cirebon untuk mengelola kawasan tersebut untuk dijadikan RTH. Sesuai dengan Perda Nomor 8 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW) Kota Cirebon tahun 2011-2031, di mana, kawasan tersebut tidak diperuntukkan untuk pemukiman.
Selain itu, menurutnya, kawasan tersebut sangat berpotensi menjadi kawasan wisata religi. Karena, banyak unsur yang mendukungnya, seperti misalnya Festival Ceng Beng yang biasa digelar setiap tahun di lokasi tersebut.