KUNINGAN – Perwakilan Forum Honorer Kategori 2 se-Kabupaten Kuningan, kembali mendatangi gedung DPRD Kuningan untuk mengadukan nasibnya ke Komisi 1, Rabu (3/3).
Mereka meminta agar DPRD memperjuangkan nasib mereka yang sudah belasan bahkan puluhan tahun mengabdi menjadi pegawai honorer. Selama ini mereka menganggap kurang diperhatikan oleh pemerintah, dalam hal ini dari sisi kesejahteraannya.
Kedatangan guru honorer tersebut, diterima oleh Ketua Komisi 1 DPRD Saw Tresna Septiani SH di ruang rapat Komisi 1. Turut hadir sejumlah pejabat perwakilan dari BKPSDM dan BPKAD Kabupaten Kuningan, serta puluhan pegawai honorer K2 dari berbagai SKPD.
Sekitar satu jam lebih, perwakilan honorer K2 ini mengadukan nasibnya kepada jajaran Komisi 1 DPRD. Menanggapi aspirasi para honorer tersebut, Ketua Komisi 1 Saw Tresna Septiani SH menuturkan, sebetulnya masalah yang disampaikan oleh perwakilan forum honorer K2 tersebut merupakan persoalan klise. Karena pada setiap akan ada pembahasan anggaran murni, mereka selalu datang untuk menyampaikan aspirasinya.
“Dengan datangnya mereka ke DPRD, saya anggap berarti permasalahan honorer K2 ini masih ada yang belum selesai. Tadi sudah tersampaikan masukan-masukan dari mereka, dan sudah ditanggapi langsung oleh mitra kerja Komisi 1,” tuturnya saat diwawancarai sejumlah media usai pertemuan.
Tresna memaparkan, banyak hal yang disampaikan oleh para honorer K2, seperti mempertanyakan mengapa pemerintah merekrut THL (Tenaga Harian Lepas) baru. Padahal di PP Nomor 48 pasal 8 sudah jelas bahwa pemerintah, dalam hal ini bupati tidak boleh merekrut honorer atau THL yang baru.
“Sekaligus mereka juga meminta penjelasan tentang pengangkatan honorer baru tentang tidak adanya mekanisme yang sudah diatur di perbup,” paparnya.
Selain itu, lanjut Tresna, mereka juga mempertanyakan mekanisme upah berdasarkan masa kerja yang dianggap sangat tidak adil. Sebab, honorer K2 ini sudah bekerja, bahkan sampai puluhan tahun. Selain itu, para honorer ini juga mempertanyakan tentang pembuatan Surat Keputusan (SK), karena ada SK Bupati dan SK Sekda.
“Itu yang jadi masalah dan yang mereka pertanyakan. Karena pada pelaksanaannya tidak ada perbedaan atau nilai plusnya, baik itu SK Bupati maupun SK Sekda. Selain itu juga mereka mempertanyakan solusi pemerintah terhadap honorer yang semakin banyak,” ungkap Tresna.