JAKARTA- Presiden Jokowi pernah menyerukan benci produk asing untuk mendukung perekonomian dalam negeri. Bahkan seruan itu baru disampaikan pada Kamis 4 Maret 2021. Saat membuka Rapat Kerja Kementerian Perdagangan (Kemendag). “Ajakan-ajakan untuk cinta produk-produk kita sendiri, produk-produk Indonesia harus terus digaungkan, produk-produk dalam negeri. Gaungkan juga benci produk-produk dari luar negeri,” ujar Presiden Jokowi.
Orang nomor satu di Indonesia itu mengatakan kampanye cinta produk Indonesia dan benci produk luar negeri harus digaungkan supaya masyarakat cinat dan loyal pada hasil sendiri. “Bukan hanya cinta, tapi benci. Cinta barang kita, benci produk dari luar negeri. Sehingga betul-betul masyarakat kita menjadi konsumen yang loyal sekali lagi untuk produk-produk Indonesia,” tandasnya.
Seruan Jokowi tentu akan disorot di tengah rencana pemerintah melakukan impor beras sebanyak 1 juta ton. Impor dilakukan dengan alasan agar ketersediaan pangan saat memasuki Ramadan dan Lebaran nanti tetap terjaga dan menghindari lonjakan harga.
Alokasi impor beras terbagi menjadi dua. Masing-masing 500 ribu ton untuk Cadangan Beras Pemerintah (CBP) dan 500 ribu ton sesuai kebutuhan Bulog. Mengenai impor beras ini, Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Irwan Nurdin, meminta pemerintah mewaspadai adanya mafia pangan. Pasalnya, dia mencurigai bahwa kebijakan perberasan Tanah Air telah dikontrol mafia pangan.
“Saya curiga kebijakan perberasan kita telah dikontrol oleh mafia pangan. Sebab seluruh energi dan kerja keras pemerintah menggenjot produksi bahkan inovasi pertanian lainnya seolah hilang ketika setiap tahun jutaan ton beras harus diimpor. Sama ketika kebijakan membangun waduk, cetak sawah, kartu tani belum dirilis,” ujar Iwan Nurdin dalam keterangannya, kemarin (7/3).
Apalagi, lanjut Iwan, saat ini petani sedang memasuki panen raya. Tentu saja impor pangan akan merugikan petani karena harga jual hasil panen di tingkat petani menjadi anjlok. Sebaliknya, kondisi ini akan menguntungkan importir pangan.
“Alasan importasi beras 1 juta ton kembali mengulang kecurigaan bahwa data-data hasil panen, stok beras di gudang Bulog, dan laporan produksi gabah kita tidak pernah akurat dan selalu menguntungkan importir pangan,” kata dia.