Pada tahun 1984 kemudian muncul SK Gubernur Nomor 573/SK.435/Pemdes/84 yang dikeluarkan pada tanggal 27 Februari 1984. Dalam surat tersebut berisi dua hal. Yakni terkait Desa Kertawinangun dan Desa Setu. “Salah satu isinya menyetujui pengkaplingan sebanyak 565 bidang sesuai dengan pengusulan musyawarah desa di tahun 1982. Di situ disebutkan luas lahan per bidang per kategorinya, luas lahan untuk fasos-fasum dan lain-lain secara jelas. Termasuk pemohonnya ada data by name bya addres,” bebernya.
Menurutnya, tanah desa yang ditukargulingkan tersebut sebanyak 13,7 hektare. Lahan pengganti sendiri sudah ada, yakni seluas 21,3 haktare. Namun, diterangkannya, berdasarkan data yang ada, lahan yang diklaim oleh orang lain tersebut tidak masu dalam site plane pengkaplingan.
“Kantor kecamatan yang diklaim itu dulunya kantor desa. Itu tidak termasuk keproyek pengusulan pengkaplingan. Juga bangunan yang lainnya berdasarkan data yang ada, juga tidak termasuk dalam proses pengkaplingan. Saya bukan berbicara atas nama pribadi. Saya ini sekali lagi bukan pelaku sejarah, saya hanya menyampaikan data yang ada,” bebernya.
Diterangkan, pada 1986 pemerintah desa menerbitkan surat 144/01.DS/II/86. Di dalamnya menyebutkan bahwa lahan seluas 10.000 meter atau 1 hektare peruntukannya untuk SMP Negeri Weru dan menyediakan lahan seluas 1.600 untuk diwakafkan untuk yayasan TK. Setelah itu, ada uang masuk dari provinsi terkait SMP tersebut, di mana nilainya sekitar Rp19.700.000. Uangnya kemudian digunakan untuk pembangunan gedung serba guna di belakang kantor kecamatan.
“Ini semua tertulis. Saya berbicara sesuai data yang ada. Dokumen-dokumen ini saya cari. Tadinya tidak ada satu pun data di desa. Saya kumpulkan, saya minta dokumen ke pelaku sejarah, termasuk peta site plane pengajuan proyek pengkaplingan,” katanya.
Di tahun 2013, Pemdes Setu Kulon mengeluarkan surat keterangan yang ditandatangani oleh kuwu saat itu yang menyatakan jika lahan SD Setu Kulon II merupakan aset Pemdes Setu Kulon dengan nomor 140/612/DS/2013. Untuk lahan SD luasnya sekitar 1542 M2. Masalah lalu muncul setelah pada tahun 2014, kuwu saat itu mengeluarkan beberapa surat pelepasan hak (SPH) yang disahkan notaris. Di antaranya SPH dengan nomor 08.1/W/IX/2014.