Belum lagi soal kebiasaan masyarakat yang akan semakin acuh terhadap kesehatan. Karena melihat limbah atau debu batu bara itu sebagai sesuatu yang tidak terlalu berdampak pada organ tubuh bagian dalam.
Partikel kecil atau debu dari aktivitas pembakaran batu bara, imbuhnya, bisa tertiup angin hingga lebih dari 2 kilometer. Sehingga berpotensi mencemari lingkungan sekitar. Apalagi aktivitas batu bara itu dilakukan di Pelabuhan yang jaraknya sangat dekat dengan laut. Di Kota Cirebon, 2 kilometer itu sudah menjangkau pemukiman warga. Itu jelas memberikan pengaruh terhadap kualitas udara di sekitar.
“Juga mencemari biota laut. Biota laut akan rusak. Belum lagi kita akan mengonsumsi makhluk hidup (ikan, red) di dalamnya yang mungkin sudah tercemar karena fly ash tadi,” ungkapnya.
Meiki menuturkan, bottom ash adalah partikel batu bara yang dikumpulkan/dipadatkan pada satu area yang luas. Ditampung layaknya pada kolam. Namun di beberapa PLTU, katanya, limbah tersebut ditumpuk begitu saja dan akan tertiup angin. “Lalu sama saja, menyebar. Karena dia kaya abu,” bebernya.
Meiki menilai, sejauh FABA masih tergolong sebagai B3 saja, pengawasannya sudah lemah. Apalagi jika itu dihapus dari daftar B3. Juga dari sisi pemanfaatan, sejak dulu sudah dilakukan. Meski diakui, ada proses dan kajian sebelum itu ditindaklanjuti. “Jadi sebetulnya apa bedanya kalau dikeluarkan dari daftar B3?” tukasnya.
“Kami khawatir ketika ada upaya pemanfaatan (FABA, red) tidak ada lagi proses amdal (analisis dampak lingkungan, red) karena dianggap sudah tidak beracun. Dianggap pasir biasa,” cemasnya. (ade)