Terpisah, Pengamat Kebijakan Reformasi Birokrasi Kabupaten Cirebon, Munangwar, mengkrititik adanya fenomena baru ASN pada pejabat struktural eselon III A di lingkungan Pemkab Cirebon. Di mana para pejabat struktural Eslon III A yang tidak kesampaian dalam open bidding eselon II lantaran terbentur usia akhirnya ramai- ramai pindah jabatan fungsional tertentu (asesor) hanya untuk mengejar batas usia pensiun (BUP) 58 tahun menjadi 60 tahun.
“Fenomenanya sekarang dari struktural ramai- ramai pindah ke fungsional melihat kompetensj keahliannya yang penting pindah ke jabatan fungsional jadi BUP-nya 60 tahun karena mengejar target TPP dan gaji maka dipastikan berimbas membengkaknya biaya belanja pegawai, membengkaknya APBD Kabupaten Cirebon,” tutur Munangwar.
Menurutnya, fenomena demikian akan merugikan negara tanpa melihat SDM yang mumpuni. “Lalu menyimak mencermati gonjang ganjing mutasi pejabat eselon II, seharusnya berdasarkan aturan yang berlaku, UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dan PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajamen ASN,” kata pria yang pernah menjabat Kabag Organisasi Setda Kabupaten Cirebon itu.
Masih kata Munangwar, bupati sebagai kepala daerah juga sebagai pejabat pembina kepegawaian (PPK) yang memiliki tupoksi mempromosikan, memindahkan, dan memberhentikan, harus dan wajib mengedepankan meritokrasi dan kompetensi berdasarkan standar kompetensi jabatan dengan syarat khusus menduduki jabatan tinggi pratama. “Harus juga mengedepankan keahlian dan figur yang mempunyaai kemampuan skill manajerial. Kepala SKPD bukan untuk dilayani tetapi melayani apa yang dibutuhkan masyarakat,” tukas Munangwar.
Sementara itu, FKKC menyoroti rencana mutasi dan rotasi camat yang kabarnya akan dilakukan dalam waktu tak lama lagi. Ketua FKKC, Muali, mengatakan bupati tak boleh asal melakukan rotasi dan mutasi camat. “Harus sesuai keahlian dan bidangnya. Jangan sampai orang yang bukan dan tidak mengerti pemerintahan malah dijadikan camat,” tuturnya.
Ketika bupati menunjuk camat yang tak paham tata kelola pemerintahan, kata Muali, akan berdampak langsung kepada para kuwu yang bermitra dengan camat. “Camat adalah miniatur pemerintah daerah. Jadi kalau gak mengerti pemerintahan maka yang direpotkan adalah kami para kuwu,” katanya.
“Camat harus mampu membimbing para kuwu dalam mengelola desa. Kalau yang membimbingnya nggak mengerti pemerintahan, justru kuwu nanti yang dibuat bingung. Karena memang tugas camat salah satunya harus membimbing kuwu dalam mengelola desa,” sambung Muali.