Pemkot Cirebon Tekan hingga di Bawah 10 Persen
KEJAKSAN – Ada 13 dari 100 anak di Kota Cirebon masuk dalam kategori stunting. Hal tersebut disampaikan Sekretaria Daerah (Sekda) Kota Cirebon Drs H Agus Mulyadi MSi saat menghadiri perayaan Hari Keluarga Nasional (Harganas) secara virtual bersama Wapres RI Maruf Amin di Balaikota Cirebon, Selasa (29/6).
Sekda menyampaikan, angka stunting Kota Cirebon berdasarkan perhitungan Agustus 2020 ada pada 13,6 persen. Dengan demikian, bisa diartikan, dari 100 balita, ada 13 anak yang masuk kategori stunting.
“Sebetulnya secara nasional maupun provinsi, Kota Cirebon masih tingkat nasional. Memang angka stunting di kita ini sudah lebih rendah dari Provinsi Jawa Barat, bahkan angka nasional masih terdapat 27 dari 100 balita masuk kategori stunting,” ujarnya.
Dalam pemaparan yang diungkapkan BKKBN dalam konferensi virtual tersebut, target nasional 2024, angka stunting tersisa tinggal 14 persen. Namun, Kota Cirebon menargetkan, di akhir RPJMD 2018-2023, angka stunting bisa ditekan di level satu digit, atau bisa di bawah 10 persen.
Meski demikian, secara parsial, memang ada beberapa kelurahan yang perlu diintervensi. Karena, ada belasan kelurahan yang angka stunting-nya masih di atas rerata. Di antaranya, Karyamulya, Sukapura, Kebonbaru, Kejaksan, Pegambiran, Argasunya Lemahwungkuk, Kasepuhan, Pekalipan, Kecapi, dan Panjunan.
“Penanggulangan stunting memang di BKKBN, tapi semua pihak harus bekerja sama. Pak Wali dan Menko sudah berkomitmen untuk terus menekannya,” ujarnya.
Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Suwarso Budi Winarno menjelaskan, penyebab stunting bukan hanya didominasi oleh lemahnya perekonomian dalam suatu keluarga. Ada juga masyarakat yang ekonomi bukan kategori lemah tetapi balitanya mengalami stunting karena kaitan dengan gizi dan kesehatan lingkungan.
Misalnya kaitan ASI ekslusif mestinya enam bulan, hanya dapat cuti kerja tiga bulan. Kurangnya asupan gizi seperti mengkonsumsi ikan dan sayur, terlalu sering mengkonsumsi junkfood, faktor sanitasi lingkunga, dan lain sebagainya.
Pencegahannya, terletak pada 1.000 hari pertama kehidupan, harus diintervensi gizi. Karena, ini merupakan waktu terbentuknya sel-sel otak. Harus dimaksimalkan mungkin asupan gizinya.
“Bahkan sejak pranikah, calon pasutri, terutama sang ibu, yang memprogramkan kehamilan harus mendapat asupan gizi yang seimbang,” imbuhnya. (azs)