“Karena dalam mengambil keputusan penetapan pengalihan tahanan tersebut, apakah majelis hakim tidak melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim atau sebaliknya,” kata Djarkasih.
Terkait terhadap jaminan pengalihan tahanan yang diberikan oleh kepala daerah selaku pejabat tata usaha negara, maka dalam hukum administrasi tindakan hukum tersebut berdasarkan hukum publik adalah sebagai wakil (vertegenwoordiger) dari jabatan pemerintahan.
Oleh karenanya perbuatan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai bentuk perbuatan hukum administrasi untuk dan atas nama jabatannya, yaitu sebagai bupati dan walikota.
“Kita menyayangkan seorang kepala daerah sebagai pemangku jabatan public berani menjamin dan mempertaruhkan reputasi dan nama baiknya menyangkut persoalan hukum pribadi sesorang dalam perkara pidana penganiayaan, dengan alasan yang subjektif,” terangnya
Djarkasih menilai itu alasan subjektif karena terdakwa merupakan staf ahli dalam penanggulanagan Covid-19, dan tenaganya sangat dibutuhkan dalam penanganan Covid-19 sewilayah III Cirebon. Terdakwa merupakan ahli genetika yang sangat dibutuhkan, terdakwa merupakan Kepala Laboratorium Fakultas Kedokteran Universitas Swadaja Gunung Jati (UGJ).
Djarkasih menegaskan, alasan tersebut perlu diuji kebenarannya. Adapun alasan lainnya bersifat politis karena sejatinya masih banyak orang yang mumpuni dan mampu untuk menggantikan posisi pekerjaan terdakwa. “Persoalan yang menimpa terdakwa adalah murni persoalan pribadi, dan kami sebagai korban, tidak ada kaitannya dengan tugas dan wewenang kepala daerah. Hal ini seakan mendiskriminasikan kami sebagai pelapor atau sebagai warga masyarakat,” katanya.Djarkasih menilai hal itu menjadi preseden buruk terhadap penegakkan hukum dan supermasi hukum. Karena, sudah jelas dalam Pasal 76 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, kepala daerah dilarang untuk membuat kebijakan yang merugikan kepentingan umum dan meresahkan sekelompok masyarakat atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bahkan dan hal ini telah mendiskriminasikan dan merugikan pihaknya sebagai pelapor, sehingga hal ini perlu kiranya ada upaya dan langkah-langkah hukum ke depan. Karena dengan kasus “walikota dan bupati menjadi penjamin dalam kasus pidana” tidak dapat dilepaskan dari kebijakan atau keputusannya sebagai seorang pejabat pemerintah yang menjalankan jabatan pemerintahannya.