Perubahan yang dimaksud tercantum dalam Pasal 39, dimana rangkap jabatan di BUMN/BUMD hanya dilarang untuk jabatan direksi, yang berarti untuk jabatan Komisaris diperbolehkan. “Presiden Jokowi dengan sigap dan tanggap, menandatangani perubahan PP ini,” ungkap Fahmy.
Padahal, kata Fahmy, selaku Presiden seharusnya menjadi yang terdepan untuk menampilkan keteladanan dalam menjunjung tinggi, menegakan dan melaksanakan aturan. Rangkap jabatan ini, lanjut Fahmy, berpotensi menjadikan seorang rektor tidak fokus untuk mencurahkan perhatian dan pemikirannya untuk kemajuan dan perkembangan mutu kampus, terlebih bila rangkap jabatan tersebut menuntut kerja dan tanggung jawab yang strategis.
Lebih jauh, Fahmy menegaskan, pemerintah tidak mendukung independensi dan kebebasan kampus sebagai pusat pengembangan pemikiran/akademik yang kritis dan produktif, pemupukan benih-benih idealisme dan moralitas, dan sekaligus menjadi garda terdepan dalam mengkritisi kebijakan-kebijakan setiap rezim untuk kebaikan negeri.
“Pemberian jabatan rangkap seorang rektor dengan jabatan komisaris di BUMN misalnya, tentu akan membuat sang Rektor akan bersikap ‘melunak’ dan tidak enak hati untuk bersikap kritis kepada pemerintah,” tegasnya.
Lebih jauh, Fahmy mengungkapkan bahwa apa yang dilakukan pemerintah patut dicurigai perubahan PP ini dalam rangka ‘mengendalikan’ kampus-kampus negeri untuk berdiri pada posisi mendukung semua kebijakan pemerintah, meskipun kebijakan tersebut melukai atau mencederai demokrasi dan tidak berpihak kepada rakyat. “Kita khawatir, pada gilirannya pemerintah akan melakukan pengkebirian kampus-kampus melalui tangan-tangan Rektor (yang diberikan jabatan menarik) agar tidak bersuara kritis terhadap segala kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Bila benar demikian, selamat tinggal demokrasi, selamat datang oligarki!” tutup Fahmy. (khf/fin)