Pemerintah dinilai gagal urus minyak goreng (migor). Tiba-tiba merelaksasi harga eceran tertinggi (HET) migor. Menyesuaikan dengan nilai keekonomian. Dampaknya, harga jadi liar. Sebelumnya langka dengan harga murah, sekarang melimpah dengan harga melambung tinggi.
====================
BEBERAPA waktu lalu, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto buka suara. Ia mengatakan bahwa pemerintah memutuskan untuk menyalurkan minyak goreng curah bersubsidi dengan harga Rp14.000 per liter. Sedangkan minyak goreng kemasan menyesuaikan dengan harga keekonomian.
Pasca pemberlakuan itu, minyak goreng kemasan kini mulai melimpah di pasaran. Padahal pada beberapa waktu lalu, minyak goreng ludes habis dan kosong di banyak lokasi. Kini situasi berubah. Stok sudah melimpah tetapi harga melambung tinggi.
Berdasarkan pantauan di lapangan, kini minyak goreng kemasan baik sederhana ataupun premium dijual dengan harga Rp20.000-26.000 per liter atau Rp40.000-52.000 per dua liter. Sekitar 1,5 kali lipat dari harga eceran tertinggi (HET) yang sebelumnya diterapkan bagi minyak goreng kemasan yakni Rp14.000.
Terkait kondisi ini, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjajaran (FEB Unpad) Prof Dr Ina Primiana SE MT mengatakan bahwa kondisi tersebut merupakan kegagalan pemerintah dalam mengatur distribusi kebutuhan pokok yang sangat bergantung kepada pemerintah.
Ina menyebut pemerintah gagal menjaga stok kebutuhan di kalangan masyarakat. “Ini kegagalan pemerintah dalam mengantisipasi apa yang akan terjadi dengan kebijakan yang sudah dan akan diambil. Hanya ambil kebijakan tanpa tindaklanjut yang pasti dan berdampak,” ujar Ina saat dihubungi Radar Cirebon, Jumat malam (18/3).
Ina mencontohkan pada saat Kemendag melakukan penurunan harga dengan penerapan harga eceran tertinggi (HET) Rp11.500 per liter untuk curah dan Rp14.000 untuk kemasan premium. Pada kenyataannya, stok kosong dan sulit dicari masyarakat. “Harusnya pemerintah tahu perilaku masyarakat dan pengusaha. Bisa ditimbun,” katanya.
Apalagi, menurut Ina, saat ini sudah mau menghadapi bulan puasa dan lebaran yang biasanya harga bahan pokok mengalami kenaikan. Sehingga, ia menilai hal itu merupakan kelemahan pemerintah mengantisipasi ketersediaan yang ada. “Memang seperti saat ini, Kemendag tidak bisa menentukan sendiri (kebijakan yang akan diambil, red). Harus bersama dengan industrinya. Jangan sampai seperti ini. Beli harga HET dijual sampai Rp47,5 ribu. Itu keuntungannya berapa kali lipat. Kasihan pedagang kecil,” tegasnya.