Tidak banyak yang mengenal sosok tenaga pendidik di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung yang juga pakar seni dan tradisi serta adat Nusantara ini. Ia adalah Dr Yanti Heriawati SPd MHum. Perempuan kelahiran Desa Singawada, Kecamatan Rajagaluh, Majalengka, itu sangat berjasa dalam pengembangan riset seni dan tradisi serta adat istiadat. Tak hanya di Jawa Barat, tapi Nusantara.
PAI SUPARDI, Majalengka
SOSOK wanita bersahaja dan ramah ini tercatat telah menulis sejumlah buku tentang kajian kesenian dan tradisi. Bahkan pernah beberapa kali melakukan riset maupun penelitian tentang kesenian, budaya, dan tradisi. Salah satunya adalah melakukan kajian kesenian Sampyong di Majalengka dan mata air peninggalan Siliwangi di Rajagaluh.
Sebenarnya, apa yang digeluti Yanti saat ini bisa dibilang “melenceng” dari keinginan awal saat masih SMA. Yanti yang merupakan alumni SMAN 1 Rajagaluh, lulus tahun 1995, merupakan siswa jurusan Fisika (A1).
Saat itu ia juga merupakan satu-satunya siswa yang lulus SBMPTN (seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri). Berkat dorongan dari para guru, akhirnya ia kuliah di IKIP (sekarang UPI), dengan mendaftarkan tiga jurusan pilihan. Yakni Fisika, Psikologi Perkembangan, dan Seni Tari. Dan, ternyata ia justru lulus di jurusan Seni Tari. Bukan di jurusan Fisika seperti yang diinginkan sejak awal.
Karena tak sesuai keinginan, ketika semester awal hingga semester dua, perempuan berkerudung ini mengaku sempat frustrasi. Bahkan hampir saja drop out karena merasa tidak kuat dan tidak sejalan dengan keinginan awal.
Namun berkat kesabaran dan semangat serta dorongan keluarga, akhirnya ia lulus juga. Bahkan tepat waktu, yakni di tahun 2000. Di situlah ia mulai jatuh cinta dengan dunia tari dan seni.
Tahun 2001, Yanti memutuskan untuk melanjutkan studi S2 di Program Kajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa di UGM. Dan, karena prestasinya, ia mendapatkan beasiswa dari pemerintah dan lulus 2004 awal. Di akhir-akhir kelulusan, Yanti mengaku sempat kepincut dengan dunia jurnalistik hingga ia sempat diterima di harian Kompas dan Media Indonesia.
Namun karena mendapatkan tugas di Jakarta, Yanti memilih mundur. Tak mau larut dalam kesedihan karena gagal jadi jurnalis, ia kemudian mengadu keberuntungan dengan mengikuti tes CPNS, di mana akhirnya diterima menjadi CPNS dan ditawarkan untuk mengajar di IKIP atau di ISBI. Yanti kemudian memilih untuk mengajar di ISBI.