Diding mengatakan, selama ini proses penyidikan kasus kekerasan seksual seringkali terkendala oleh pembuktian. Berbeda dengan kasus perkosaan yang bisa dibuktikan dengan adanya visum, kaus pelecehan seksual seperti diraba, tidak ada pembekasan di visum et repertum. Aparat penegak hukum juga akan melanjutkan perkara jika sudah mendapatkan minimal 2 alat bukti. “Kalau mau diperkarakan, maka pelapor bisa menggunakan Pasal 289 KUHP tentang Pencabulan. Kalaupun perbuatan itu memang ada dan berdasar alat bukti,” ungkapnya kepada Radar.
Lebih lanjut ia menilai, UU TPKS akan memberikan rasa aman terhadap para perempuan Indonesia. UU tersebut dianggap berpihak kepada korban. Selain itu sistem peradilan pidana juga berubah. Ketika korban sudah melapor, penegak hukum tidak boleh memberhentikan perkara.
Kemudian, lanjutnya, tidak boleh ada restorative justice. Lalu ada restitusi dan dana bantuan bagi korban. Kemudian dinyatakan pula kalau barang bukti adalah alat bukti. “Diharapkan UU ini bisa melindungi para perempuan dalam konteks tindak kekerasan seksual,” tandasnya. (awr)