Wastum tak pernah lupa dengan Desa Ujunggebang. Masih dalam tayangan YouTube ia menyebut tanah kelahirannya berlokasi sangat terpencil. Wastum mengaku baru mendapatkan penerangan atau arus listrik saat sudah lulus dari AAU.
“Jadi saya pada saat SMP/SMA tidak ada listrik. Bukan karena di daerah Cirebon itu terlalu kampung, tapi desa sayanya terlalu kampung,” katanya, seraya tersenyum mengenang.
“Jaraknya 2 kilometer dari jalan raya. Sehingga, menuju ke sananya ini tiang-tiang listriknya yang tidak bisa kita beli. Itu permasalahannya. Telepon juga tidak ada, sehingga waktu itu (komunikasinya) surat-suratan terus, dan itu (berlangsung) lama sekali,” ungkap Wastum, bernostalgia.
Wastum tak pernah membayangkan menjadi prajurit pesawat tempur. Di masanya, ia memilih menjadi Korps Pasukan Khas (Paskhas), pasukan elite TNI AU. Ia juga tak menyangka begitu lulus dari AAU bisa menjadi yang terbaik.
“Pilihan saya dulu hanya ingin sebagai penerbang helikopter. Karena saya tidak sanggup untuk terbang tempur. Karena tangan saya kasar. Saya tuh pencangkul ulung ibaratnya,” ucap Wastum yang juga lulusan terbaik Sekolah Penerbang (Sekkbang) TNI AU –saat itu berpangkat Letkol Pnb- pada peringatan HUT ke-69 Kemerdekaan RI tahun 2014 lalu.
Di HUT ke-64 tersebut Wastum juga menerbangkan F-16. Ia memimpin 32 pesawat tempur melakukan fly pass di atas Istana Merdeka, Jakarta. Wastum kembali mengingat kenangan bersama almarhum orang tua ketika membantu mencangkul di sawah. Menyiapkan ladang untuk ditanami padi.
Sang ibu, katanya, seringkali mengantarnya menuju ladang sawah yang sedang digarap ayahnya itu. “Se-simpel itu kehidupan saya sebelumnya. Sampai saya taruna saya masih mencangkul,” tukasnya.
Dia pernah memboyong kedua orang tua ke Istana negara dan bertemu bahkan bersalaman langsung dengan Presiden Soeharto saat menjadi lulusan terbaik AAU tahun 1996 itu. “Menjadi karunia terbesar waktu itu. Saya yakin beliau (kedua orang tua) tersenyum anaknya sudah menjadi penyandang bintang atau jenderal,” tukasnya.
“Bapak saya tidak bisa baca, tidak bisa tulis, tidak sekolah samasekali, bisa membesarkan saya menjadi jenderal seperti ini itu karunia terbesar. Saya yakin beliau tersenyum di alam sana,” ujar Wastum, terharu.