Hilang Pasar Muludan

Hilang Pasar Muludan
0 Komentar

Hal itu, tentunya akan menjadi satu kerugian tersendiri. Sebab selama ini, selain sebagai ruang terbuka, alun-alun mempunyai fungsi sebagai tempat berkumpulnya masyarakat serta untuk untuk kegiatan pesta rakyat dan perayaan-perayaan tahunan.
Peniadaan pasar malam ini, menurutnya akan mendegradasi suatu event yang telah berjalan puluhan tahun dan menjadi ikon masyarakat Cirebon. Event ini pula yang telah menjadi daya tarik wisatawan dan berhasil mendongkrak jalannya roda ekonomi, khususnya bagi pelaku usaha kecil.
“Keraton pastinya menggelar tradisi panjang jimat, tapi itu kan ranahnya privat. Terbatas hanya undangan yang boleh melihat. Sementara pasar muludan yang berada di luar, ya itu untuk masyarakat yang ingin mengatahui dan memeriahkan,” ujarnya.
Jika ditelusuri ke belakang, jelas Akbar, tradisi pasar muludan telah ada sejak masa Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Setelah secara resmi tidak lagi menjadi pemimpin Kasultanan Cirebon, Sunan Gunung Jati melakukan mandeg mandita (pensiun).
“Beliau kemudian menempati sebuah istana bernama Jinem Ayunan di Astana Giri Sapta Rengga yang berada di Komplek Astana Gunung Sembung. Setiap malam jumat Kliwon, Sunan Gunung Jati mengundang para Ki Gede, Ki Gedeng dan para pembesar untuk melakukan muhasabah dan sebagainya,” katanya.
Nah setiap pertemuan itu, para pembesar itu mereka rata-rata membawa sanak saudaranya. Karena ramai itu, kemudian mulai bermunculan para pedagang. Termasuk juga ketika perigatan Maulid Nabi pada tanggal 12 mulud,” lanjut Akbarudin.
Setelah masa Sunan Gunung Jati, peringatan Maulid Nabi kemudian dilanjutkan oleh para Sultan yang berkuasa. Hanya saja, di era awal, peringatan Maulid Nabi lebih populer dilakukan di Keraton Kanoman. Bahkan sejak Sultan Anom pertama berkuasa.
“Saat itu, Sultan Anom pertama bahkan telah membuat rangkaian jadwal tradisi muludan di Keraton Kanoman dengan ditabuhnya gong sekati sebagai penanda awal digelarnya kegiatan muludan setiap tanggal 8 mulud,” lanjutnya.
Hingga era modern atau sekitar tahun 1970-an, Keraton Kanoman masih menjadi pusat kegiatan masyarakat yang ingin melihat prosesi panjang jimat. Begitupun dengan para pedagang yang memanfaatkan momen tersebut untuk meraup banyak keuntungan.

0 Komentar