Dengan begitu, nantinya rakyat bisa punya presiden yang sensitif membaca selera dan pro rakyat. “Bukan semata-mata menjalankan agenda ‘eksklusif oligarki’ atau golongan kelompok tertentu saja,” tuturnya.
Sementara itu, elektabilitas Anies dalam beberapa bulan terakhir meningkat dari 16,3% menjadi 17,7%. Hal ini membuat partai bisa melirik Anis, terutama Nasdem, Demokrat dan PKS.
Direktur Eksekutif Trust Indonesia Azhari Ardinal mengatakan bahwa hal tersebut dipertegas dengan adanya pertemuan-pertemuan formal dan informal ketiga partai politik tersebut. “Padahal jika dilihat ketiga partai politik tersebut memiliki background dan ideologi politik yang berbeda,” katanya kepada wartawan, Kamis (22/9).
Bahkan, Azhari juga mengatakan bahwa Nasdem adalah partai koalisi pemerintah atau dependen, sedangkan Demokrat dan PKS adalah partai oposisi pemerintah atau independen.
“Dengan dukungan calon presiden kepada Anies Baswedan maka Nasdem, Demokrat dan PKS menjadi satu-satunya partai politik interdependen (bekerja sama) yang terdiri dari partai politik koalisi dan partai politik oposisi,” ungkapnya.
Azhari juga mengatakan kalau kerjasama tersebut merupakan sebuah peluang besar karena masyarakat memiliki banyak pilihan dalam menentukan calon presiden 2024. “Dengan adanya koalisi Interdependen ini, semakin mempertegas bahwa PDIP akan ditinggalkan oleh partai-partai koalisi lainnya,” paparnya.
“Hal ini akan terjadi jika sikap dan gaya politik PDIP terlalu elitis dan jumawa. Apalagi PDIP sebagai partai pemenang pemilu dan partai “wong cilik” sikapnya tidak tegas soal kenaikan harga BBM oleh Presiden Jokowi,” sambungnya.
Dikatakan Azhari bahwa PDIP selaku partai pemerintah saat ini sangat bertolak belakang dengan sikap PDIP pada saat kenaikan harga BBM di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Selain itu, Azhari juga mengatakan bahwa PDIP melalui ketua umumnya mengusulkan untuk tidak mengganti nomor urut partai politik. “Sebenarnya secara ekonomis ide yang disampaikan oleh ketua umum PDIP ini cukup bagus, namun menjadi sangat politis karena disampaikan langsung oleh ketua umum PDIP,” katanya.
“Karena sebagian besar publik merasakan keberadaan ketua umum PDIP hari ini terlalu banyak mengintervensi kebijakan-kebijakan teknis yang dilakukan oleh Presiden Jokowi dan partai koalisinya,” sambungnya.