Masjid Lautze 3 Didirikan di Cirebon setelah Jakarta dan Bandung

Masjid Lautze 3 Didirikan di Cirebon setelah Jakarta dan Bandung
0 Komentar

Seperti dikutip dari tulisan Ratna Ajeng Tejomukti, orang tua Oei merupakan perantauan dari Provinsi Fujian (Hokkien), Tiongkok Selatan. Mereka ke Indonesia pada pertengahan abad ke-19. Ayah dan ibu Oei bekerja sebagai pedagang.
Dalam buku autobiografi Haji Abdul Karim Oei Tjeng Hien Mengabdi Agama, Nusa dan Bangsa: Sahabat Karib Bung Karno diceritakan, ayahanda Oei sangat memperhatikan pemenuhan kebutuhan pendidikan.
Buah hatinya itu pun dikirim ke sekolah Belanda khusus anak-anak Tionghoa, Hollandsch-Chineesche School (HCS). Selama belajar di sana, Oei kecil menunjukkan kecerdasan di atas rata-rata. Mata pelajaran kegemarannya adalah sejarah dan ilmu bumi atau geografi.
Bersama teman-teman pribumi, Oei mendirikan organisasi Tanah Air Sendiri (TAS). Kegiatan yang diselenggarakan TAS cukup mirip dengan Hiapsianghwe, yakni bertujuan meningkatkan solidaritas antarpemuda. Di sini, Oei menjadi satu-satunya yang berasal dari keturunan Tionghoa.
Tahun 1926, ketika usia 20 tahun, Oei memutuskan memeluk Islam. Di masa itu jarang terjadi; keturunan Tionghoa yang menjadi muslim. Ustaz Abdul Kadir yang mengajarkan Oei hakikat keberagaman. Dan tokoh lain yaitu Ustaz Fikir Daud.
Setelah memeluk Islam pada tahun 1926 dan bersahabat dengan Buya Hamka, Karim Oei pun didapuk jadi pimpinan Muhammadiyah Bintuhan, Bengkulu. Dari sinilah nama Abdul Karim disematkan oleh Haji Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka).
Ketika sang proklamator Bung Karno diasingkan ke Bengkulu pada 1938, Oei berkesempatan berkenalan dan keduanya banyak terlibat dalam berbagai diskusi tentang agama dan negara.
Kehadiran sang proklamator memberikan semangat bagi warga Bengkulu tentang cita-cita kemerdekaan. Bung Karno, Hamka dan Oei kemudian bersahabat dekat bukan saja secara fisik tapi juga dalam pemikiran. Cita-cita kemerdekaan Indonesia perlahan mulai tertanam. (*)

Laman:

1 2
0 Komentar