Sebanyak 80 persen kasus terjadi di 8 provinsi. Yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Aceh, Jawa Timur, Sumatera Barat, Bali, Banten, dan Sumatera Utara. “Fatality rate atau yang meninggal persentasenya dari jumlah kasus 245 ini cukup tinggi, yaitu 141 atau 57,6 persen,” kata Menkes Budi.
Berdasarkan analisa toksikologi pasien, penyelidikan terhadap obat-obatan yang dikonsumsi pasien, serta referensi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Menkes Budi menyampaikan, sangat besar kemungkinan pasien yang menderita AKI terpapar senyawa kimia berbahaya dari obat sirup yang diminum.
Sebelumnya, WHO pada tanggal 5 Oktober telah mengeluarkan peringatan atas 4 obat sirup dengan kandungan etilen glikol di Gambia, yang dicurigai berkaitan dengan meninggalnya 66 anak dengan gagal ginjal akut.
“Jadi berdasarkan rilis dari WHO, adanya zat kimia di pasien, bukti biobsi yang menunjukkan kerusakan ginjalnya karena zat kimia ini, dan keempat adanya zat kimia ini di obat-obatan yang ada di rumah pasien, kita menyimpulkan bahwa benar penyebabnya adalah obat-obat kimia yang merupakan cemaran atau impurities dari pelarut ini,” ujarnya.
Berdasarkan temuan tersebut, Kemenkes melakukan langkah konservatif dengan menerbitkan edaran yang meminta apotek untuk sementara tidak menjual obat bebas dan/atau bebas terbatas dalam bentuk cair/sirup kepada masyarakat. Kemenkes juga meminta tenaga kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) untuk sementara tidak meresepkan obat-obatan dalam bentuk sediaan cair/sirup, sampai hasil penelusuran dan penelitian tuntas.
“Sejak kita berhentikan, itu sudah kita amati penurunan yang drastis dari pasien baru masuk ke rumah sakit. Jadi kalau tadinya RSCM itu penuh, satu tempat tidur ICU anak itu bisa diisi dua atau tiga, sekarang penambahan barunya sejak kita larang itu turun drastis pasien barunya,” tutur Menkes.
Budi menambahkan, pihaknya akan segera mengeluarkan daftar obat-obatan dalam bentuk cairan/sirup yang tidak mengandung bahan kimia berbahaya sesuai dengan pengujian dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Selain itu, Kemenkes juga memperbolehkan penggunaan obat dalam bentuk sirup untuk sejumlah penyakit kritis sesuai dengan resep dokter.
“Kita sudah bicara dengan Ikatan Dokter Anak Indonesia, Ikatan Apoteker Indonesia, ada beberapa obat-obatan memang yang sifatnya sirup tapi dibutuhkan untuk menyembuhkan penyakit-penyakit kritis, seperti epilepsi dan lain sebagainya. Ini kalau dilarang anaknya bisa menderita atau meninggal gara-gara penyakit yang lain. Sehingga dengan demikian untuk obat-obat sirup yang gunanya untuk menangani penyakit kritis itu kita perbolehkan tapi harus dengan resep dokter,” imbuh Budi.