Oleh: Dahlan Iskan
SAYA telat tiba di Kanjuruhan Selasa malam lalu. Sudah pukul 21.00. Acara dengan PM Malaysia Anwar Ibrahim di Jakarta lebih lama dari yang saya duga.
Bulan bulat sudah cukup tinggi di langit Kanjuruhan. Itu purnama ketiga pasca bencana besar 1 Oktober tahun lalu.
Bayangan saya: halaman Kanjuruhan penuh sesak Aremania/Aremanita. Saya akan sulit mencapai panggung di depan. Malam itu hari yang sangat penting: peringatan 100 hari tragedi terbesar ketiga dalam sejarah sepak bola dunia.
Baca Juga:Tendik Wajib Tahu, Ini Jadwal Pencairan Tunjangan Sertifikasi Guru 2023Komitmen Dampingi UMKM Cirebon dan Indramayu, Coach Wulan: Harus Go Digital dan Naik Kelas Â
Saya kaget: sepi sekali. Nyaris lengang. Tidak sampai 200 orang yang mengelilingi nyala 100 lilin di halaman luas itu.
Saya ketinggalan satu acara: pemutaran thriller film Kanjuruhan. Tapi tahlil dan doa belum dimulai. Di depan panggung masih tampil Kapolres Malang memberi sambutan. Singkat. Padat. Rendah hati. Minta maafnya berkali-kali. Ia juga masih menawarkan kalau ada suporter Arema yang perlu dibantu pengobatan. Fisik maupun psikis.
Di sebelah saya duduk tokoh sepak bola nasional masa lalu: IGK Manila. Manajer timnas SEA Games 1991. Yang pernah membawa Indonesia juara sepak bola SEA Games 1991. Setelah itu sepak bola Indonesia tak pernah meraih emas SEA Games lagi. Ia membawa uang kontan Rp 135 juta. Untuk dibagi ke semua keluarga korban Kanjuruhan yang meninggal dunia.
Mengapa sepi? Seperti sebuah antiklimaks?
Acara 100 hari Kanjuruhan ternyata dibagi tiga: di keluarga masing-masing di hari Sabtu malam. Di Kepanjen Minggu pagi: lari bersama. Lalu Senin malam itu: doa dan tahlil.
Tapi ada penjelasan lain dari sahabat Disway di Malang: “Belakangan aksi-aksi terkait Kanjuruhan memang sepi. Kian sepi,” ujar Indra. Beda sekali dengan awal-awal dulu. Demo besar tidak habis-habisnya. Poster dan spanduk di mana-mana. Keranda diusung sambung-menyambung. Mereka prihatin. Protes. Mengapa gas air mata ditembakkan ke tribun penonton begitu banyaknya. Keadilan harus ditegakkan. Tim pencari fakta harus dibentuk. Yang salah harus diadili. Dalangnya harus diungkap.
Lantas ada yang kian keras dan ada yang kian lemah.
Lama-lama terdengar gerakan itu retak. Lalu pecah. Terbentuk kubu-kubu.