Menurut sejarah, Adzan pitu pertama kali dilakukan pada zaman Sunan Gunung Jati, Syekh Syarif Hidayatullah. Salah satu istrinya yaitu Nyimas Pakungwati yang merupakan putri Mbah Kuwu Cirebon, Pangeran Cakrabuana terkena wabah penyakit.
Wabah itu juga menyerang sejumlah warga Cirebon di sekitar keraton. Beberapa upaya dilakukan untuk menghilangkan wabah tersebut, tetapi hasilnya selalu berujung kegagalan. Akibatnya banyak rakyat Cirebon yang meninggal dan jatuh sakit.
Setelah berdoa kepada Allah SWT, Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati mendapatkan petunjuk bahwa wabah di tanah Caruban atau Cirebon tersebut akan hilang dengan cara mengumandangkan adzan yang dilantunkan tujuh orang sekaligus.
Baca Juga:AUTO SENYUM! 18 Cara Dapat Uang Dengan HP, Tanpa Modal Dan AmanUPDATE! Harga Emas 4 Maret 2023 Naik Lagi, Ayoo Buruan Borong Sekarang
Sunan Gunung Jati akhirnya berikhtiar dengan bertitah kepada tujuh orang agar mengumandangkan adzan di Masjid Agung Sang Cipta Rasa sebagai upaya menghilangkan wabah tersebut.
Dalam salah satu babad Cirebon, wabah penyakit di Cirebon datang karena kiriman dari seorang pendekar ilmu hitam, Menjangan Wulung yang sering berdiam diri di momolo (kubah) masjid.
Ketidaksukaannya terhadap syiar Islam di Cirebon membuatnya menyebarkan wabah dan setiap muadzin yang melantunkan adzan mendapatkan serangan hingga meninggal.
Dalam salah satu versi, babad Cirebon tulisan Pangeran Sulaeman Sulendraningrat, saat Sunan Gunung Jati memberikan titah tujuh orang sekaligus melantunkan adzan ketika waktu Subuh.
Pada saat itu terdengar suara ledakan dahsyat dari bagian kubah Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang dibangun pada 1480 Masehi. Ledakan itu membuat Menjangan Wulung yang berdiam diri di kubah masjid terluka.
Sementara kubah Masjid Agung Sang Cipta Rasa terpental hingga ke Banten dan menumpuk di kubah Masjid Agung Serang Banten. Karena itu, hingga kini Masjid Agung Sang Cipta Rasa tidak memiliki kubah, sementara Masjid Agung Serang Banten memiliki dua kubah.
Menurut Nurdin yang merupakan tokoh budaya Cirebon, menafsirkan adanya tujuh (7) muadzin tersebut sebagai cermin dari majemuknya mazhab Islam yang ada di Cirebon.