Di sisi lain, lanjut Mezique, dalam SK Dirjen KSDAE tersebut juga menyebutkan luasan zona tradisional yang mencapai 1.808,07 hektare dirasakan terlalu luas jika dibandingkan dengan luasan kawasan TNGC yang hanya 14.481,30 hektare. Sehingga perlu ada tindakan yang hati-hati dan bijak dalam merealisasi keinginan masyarakat dalam pemanfaatan HHBK.
“Kami bukan bermaksud untuk menghalang-halangi rezeki orang lain. Ciremai tidak usah diobok-obok untuk bisa menghasilkan uang. Masih banyak cara untuk mengelola Ciremai secara bijak. Karena di Ciremai ada hak makhluk yang harus kita hargai yaitu hak hutan, pohon, satwa dan lain-lain. Selain itu Ciremai juga banyak mengandung potensi bahaya, yang apabila salah cara memperlakukannya maka potensi bahaya itu akan menjelma menjadi potensi bencana. Biarkan penghuni Ciremai menjalankan perannya masing-masing tanpa harus kita ganggu dan tetap memberikan manfaat,” ujar Mezique.
Dalam hal pemanfaatan potensi Ciremai, kata Mezique, perlu ada tindakan yang intens memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa penyadapan getah pinus bukanlah satu-satunya cara untuk mendapatkan uang. Menurutnya, ada peluang-peluang lain yang lebih mengedepankan azas pemanfaatan lestari.
Baca Juga:PENTING Kemenag Bentuk BKM, Apa Bedanya dengan DKM?Penulisan Alquran Catat Rekor Muri, Wapres Ma’ruf Amin Melakukan Penulisan Terakhir
“Adanya proposal yang sudah masuk, sepatutnya dilakukan tindakan investigasi yang lebih mendalam untuk mengetahui keinginan masyarakat apakah itu betul-betul atas keinginan mereka atau karena ada hasutan dan janji-janji dari pihak yang berkepentingan. Kami juga mendesak agar TNGC membentuk wadah kolaborasi yang akan menghasilkan perizinan pemanfaatan HHBK yang tidak liar dan tanpa kendali serta betul-betul bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” papar Mezique.
Atas kondisi tersebut, Mezique bersama para pegiat lingkungan di Kabupaten Kuningan meminta kepada Kepala Balai TNGC untuk melakukan moratorium pemanfaatan HHBK di kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Dengan moratorium ini, kata Mezique, untuk memberi keleluasaan bagi tim kolaborasi melakukan tugas memfasilitasi penyusunan perangkat aturan yang mapan (SOP) dalam rangka melayani kebutuhan masyarakat akan pemanfaatan HHBK di zona tradisional kawasan TNGC.