Justru pada tanggal Idul Fitri 2023, ia menyebutkan ada potensi terjadi perbedaan.Thomas Djamaluddin mengatakan perbedaan bukan karena metode hisab atau perhitungan dan rukyat atau pengamatan, tapi karena perbedaan kriteria.
Yakni, kriteria wujudul hilal digunakan Muhammadiyah sedangkan kriteria Imkan Rukyat (visibilitas hilal) digunakan oleh NU dan beberapa ormas lainnya.
“Penentuan awal bulan memerlukan kriteria agar bisa disepakati bersama. Rukyat memerlukan verifikasi kriteria untuk menghindari kemungkinan rukyat keliru,” katanya.
Baca Juga:Keppres Biaya Haji 2023 Terbit, Ini Besarannya per Embarkasi se Indonesia, Termasuk Kertajati MajalengkaJadi Saksi di Sidang Sunjaya, Kalinga Ungkap Fakta-fakta Setoran hingga Baperjakat Bayangan
“Hisab tidak bisa menentukan masuknya awal bulan tanpa adanya kriteria. Sehingga kriteria menjadi dasar pembuatan kalender berbasis hisab yang dapat digunakan dalam prakiraan rukyat,” lanjut Thomas Djamaluddin.
Thomas Djamaluddin menerangkan, kriteria hilal yang diadopsi adalah kriteria berdasarkan pada dalil hukum agama tentang awal bulan dan hasil kajian astronomis yang sahih.
Kriteria juga harus mengupayakan titik temu pengamal rukyat dan pengamal hisab, untuk menjadi kesepakatan bersama. Termasuk Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS).
Thomas Djamaluddin lantas menyebutkan bahwa terjadi kesamaan awal Ramadhan 2023. Sementara terkait Idul Fitri, Thomas Djamaluddin mengatakan adanya potensi perbedaan.
Hal ini (potensi perbedaan tanggal Idul Fitri 2023) terjadi karena pada saat maghrib 20 April 2023, ada potensi di Indonesia posisi bulan belum memenuhi kriteria baru MABIMS, yaitu tinggi minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat [3-6,4] (wilayah arsir hijau pada gambar atas). (*)