RADARCIREBON.ID – Konon salah satu masjid tertua di Cirebon Jawa Barat ini dibangun oleh putra Prabu Siliwangi. Semula, lebih dari 500 tahun yang lalu, masjid itu berada di pinggir pantai utara Cirebon. Namun kini kawasan tersebut berupa daratan dan perkampungan padat penduduk.
Putra Prabu Siliwangi, yang dimaksud adalah Pangeran Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Anak pertama hasil pernikahan dengan Subang Larang.
Bersamaan dengan “membabad alas” Cirebon, Pangeran Cakrabuana menetapkan harus ada tempat untuk beribadah salat fardhu berjamaan. Agar dekat dengan warga yang didominasi mata pencahariannya sebagai nelayan, maka dibangunlah tempat ibadah itu dekat dengan laut atau pantai.
Baca Juga:YUK Bikin Takjil yang Manis Manis, Cara Bikinnya Gampang Anti GagalAMAN ! Persiapan Mudik Lebaran 2023, Perbaikan Jalan di Kuningan Dikebut
Tempat ibadah itu dinamai Masjid Pejlagrahan. Masjid tersebut sekarang berada masuk wilayah RW 04 Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon. Tepatnya, berada tidak jauh dari Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Persisnya berada di samping kompleks Kasultanan Kasepuhan Cirebon. Masjid ini dianggap sebagai masjid tertua di Kota Cirebon.
Bangunan masjid ini memiliki ukuran yang tidak cukup luas. Untuk bangunan utamanya hanya sekitar 8 x 6 meter. Namun, uniknya terdapat sebuah pintu kecil yang menjadi penghubung antara ruang utama dan ruang tambahan setelah renovasi. Sehingga, jamaah harus menundukkan kepala saat memasuki ruangan utama masjid.
Pada Ramadhan 1442 H yang lalu, Radar Cirebon sempat berkunjung ke Masjid Pejlagrahan. Sebagaimana disampaikan Sulaeman, Ketua DKM Pejlagrahan atau yang sering disebut juga wawengkon, masjid ini dibangun oleh Pangeran Cakrabuana atau Mbah Kuwu Cirebon.
Hingga kini, masjid ini memiliki dua versi masa pembangunan, yakni tahun 1445 M menurut Suara Purbakala dan 1452 M menurut Babad Cirebon.
“Menurut pendahulu kita, masjid ini dibangun pada abad ke-15 oleh Pangeran Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana,” ujar Sulaeman.
Dahulunya, Masjid Pejlagrahan ini berada di pinggir pantai. Namun seiring berjalannya waktu, terjadi pengendapan alami di sekitar masjid. Hingga akhirnya kini, menjadi pemukiman padat penduduk yang disebut dengan Grubugan.