RADARCIREBON.ID KUNINGAN – Setelah resmi dibubarkan, Pansus Tunda Bayar menemukan permasalahan yang menyebabkan utang Pemda Kuningan di tahun 2022. Persoalan yang paling mendasar adalah soal penetapan target penerimaan pendapatan yang tidak terukur, serta total utang yang dimiliki Pemda Kuningan tahun 2022 mencapai angka Rp245 miliar.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Pansus Tunda Bayar Yudi Budiana yang didampingi Wakil Ketua DPRD Kuningan H Ujang Kosasih, Hj Kokom Komariah, dan anggota DPRD H Toto Suharto kepada awak media usai sidang paripurna di DPRD Kuningan, kemarin (14/6).
Yudi yang juga sebagai Ketua Fraksi Golkar menyampaikan, Pemda Kuningan dalam penerimaan dari pendapatan transfer baik dari pusat maupun provinsi, itu tidak mengalami penurunan signifikan. Artinya cukup stabil, namun yang paling mendasar adalah dalam proses menetapkan target Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Baca Juga:Air Mawar Viva: Solusi Jerawat dan Melembabkan Kulit Secara AlamiAir Mawar Viva: Solusi Ampuh untuk Masalah Jerawat dan Menjaga Kesehatan Kulit
“Karena sejatinya penerimaan daerah merupakan perkiraan yang terukur secara rasional, serta memiliki kepastian dasar hukum penerimaannya. Pemerintah daerah dalam menetapkan PAD tanpa mengukur pada potensi yang ada, antara lain target beberapa jenis pajak dan retribusi naik di kisaran 80-100 persen lebih dari realisasi tahun anggaran 2021,” ujarnya.
Disebutkan Yudi, beberapa target tinggi tapi tidak tercapai yakni pajak mineral bukan logam dan batuan Rp31 miliar hanya terealisasi Rp2,338 miliar atau 7,54 persen. Retribusi jasa pelayanan kesehatan RSUD Linggajati ditargetkan Rp78,986 miliar hanya terealisasi Rp46,438 miliar atau 58,79 persen.
“Retribusi pemakaian kekayaan daerah Rp78,762 miliar hanya terealisasi Rp17,300 miliar atau 21,96 persen. Retribusi tempat khusus parkir sebesar Rp301,500 juta tidak terealisasi, serta lain-lain PAD yang sah yakni jasa giro dari Rp35 miliar hanya terealisasi Rp1,907 miliar atau 5,45 persen,” sebutnya.
Maka dengan menaikkan target PAD secara tidak terukur, tidak rasional, dan tidak sesuai dengan potensi yang ada untuk menyesuaikan kebutuhan alokasi anggaran belanja daerah, lanjutnya, itu mengakibatkan adanya belanja dalam bentuk kegiatan yang sudah selesai dilaksanakan, namun tidak dapat dibayarkan karena ketidakcukupan kas daerah.